Senin, 01 November 2010

Sebuah Jejak

Duduk memperhatikan kuatnya senja menahan rayuan malam. Sebelum kelambu hitam dikibarkan.

    Beserta hamparan hijau pesawahan luas menyebar, pepohonan tegak, dan gunung-gunung menjulang di bawah naungan lembayung jingga. Berhiaskan burung kecil yang terbang riang di bawahnya. Menemani tempat sederhana ini.

   Ini bukumu ia kembalikan, ucapnya. Terdengar dengan nada dipaksakan. Mungkin tak ingin membumbui rasaku.



Diam sejenak. Seakan terbangun beranjak dari hipnotis alam.

Segera kuambil buku tipis yang ia sodorkan. Buku bersampul merah maroon, masih utuh. Seperti baru kupinjamkan kemarin.

Angin tipis mulai mendesir, coba menghiburku. Mengalunkan nyanyian indah. Hinggap di tangkai-tangkai padi, hingga ikut menari terhanyut syahdu. Ia telah pergi mengejar impiannya.

Ia menatapku penuh haru. Matanya berbinar menahan luapan yang dirasakannya. Perasaan yang sama denganku. Masih saja ia paksakan.

Aku sudah tahu, jawabku. Ternyata benar.

Awan kelabu menutup surya. Hangat sinarnya tertahan, tak sampai di wajahku. Cahaya tak lagi ceria.

Aku tak bisa lama disini, ucapnya lagi sambil menengok seseorang lainnya. Ia mengulurkan tangannya berpamit diri.

Kuikuti arah matanya. Jauh di ujung pematang sana kulihat wanita berbalut rapih tertutup jilbab coklat. Tampak serasi dengan tanah, alas ia berpijak. Tengah menunggu setia orang di depanku.

Wanita itu telah lama kukenal. Parasnya tak asing.

Aku hanya mengangguk, bersalaman, dan berucap terimakasih. Tanpa kata-kata lagi, hanya senyum sendu.

Jaga diri ya, ucap Gera kesekian kalinya.

Ia meninggalkanku dengan senyum. Hanya kudengar deru motor yang dulu selalu kutumpangi saat hendak pergi ke sekolah.

Kini suaranya kian menjauh. Dimakan jalan.

Aliran udara membawa aroma pekat tertempal di buku ini, kutafsirkan sebagai jejak si peminjam. Inilah yang kucium saat berada di sisinya. Sungguh terasa nyata.

Kuraba lagi penuh rasa. Sambil kuingat tatapan manja merayuku saat hendak meminjamnya dulu. Jauh sebelum hari ini.

Memulai lembar demi lembar kubuka. Berharap ada kata tak terucap yang ia tuang dalam isyarat, meski harus teka-teki. Lama tak kudapatkan darinya. Secuil kertas terjatuh ketika kubuka puluhan lembar berikutnya. Inikah yang kuharapkan itu? Tak sabar rasanya ingin segera kuambil kertas tersebut, agar kutahu apa yang diisyaratkannya.

Sungguh betapa tersntaknya aku kala melihatnya. Tak mungkin sengaja ini diletakkan di bukuku. Aku sungguh kenal siapa dia.

Kulihat lagi untuk keberapa kalinya. Baru kukenali apa yang ada di sudut kanan bawahnya.

Ya ampun...

Segera kututup buku ini dan kumasukkan kertas tersebut ke dalamnya. Masih dengan seribu tanyaku.

Otakku berlari-lari diantara sampul dan selembar kertas putih itu. Kemudian tertahan. Baru kusadari setelah melihat dan membaca tulisan bercetak tebal berwarna putih diatas jertas merah maroon.

Jilid II

Ia telah meninggalkan pesan tanpa disadarinya. Selama ini ia berusaha menyembunyikannya. Betapa indah perasaannya.

Aku tak pernah memilikinya. Mungkin karena tergesa-gesa tak ingin terlambat sampai di bandara hingga tak disadarinya. Bukan, Tuhan-kulah yang memperlihatkan keagungan-Nya padaku.

Jadi ini alasan mengapa sampai berani menyimpannya. Syukurlah ia masih sosok seperti dulu yang selalu kukagumi. Ini jelas bukanlah milikku.

Angin senja menghembus kembali, mematahkan perhatian pepadian padaku dan menyuruhnya menari lagi. Kali ini bukan untuk menghibur, tapi turut berbahagia bersama sorakan jiwa.

Andai kamu lebih dulu datang, pasti kamu orangnya.

Kuingat kembali kata-katanya tiga tahun yang lalu. Seakan meninggikan diri sebari menutupi kerendahan hati dengan ketegasan.

Ah... Ia memang pintar dalam melantunkan kata-kata. Gubug ini jadi saksi kedua kalinya.

Tunggu aku kekasihku.




Subang 2010