Selasa, 28 Juni 2011

Di Sebuah Perhentian

Jika kau memiliki sekeping CD berisi lagu favorite, maka ini kupastikan adalah sehela nafas pada nada yang sedikit tak cocok dengan cord manapun.


Baru saja aku menuruni sebuah bis kota ditemani dengan ceramah di sepanjang jalan yang cukup membosankan. Akhir-akhir ini aku begitu lekat menaikinya secara terpaksa, begitu pula dengan si penceramah berbaju putih tadi.

Di sepanjang jalan kompleks pertokoan, kutangkap aura kota ini tampak suram dari biasanya, matahari seperti tenggelam lebih awal saat jarum jam di tangan kiriku masih bersimpuh santai di angka lima lewat beberapa menit. Atau―kali ini aku jadi berpikir―mungkinkah benda itu telah bosan memberitahu seseorang yang menganggapnya seolah asesoris  yang tertakdir hanya berputar-putar di tempat itu-itu saja dengan nilai tak lebih dari Rp 75.000? Terpaksa harus kuakui tentang keterlambatanku hampir di setiap hal.

Ah, aku sedikit teringat dengan peristiwa di hari sebelum kemarin saat masih kuabaikan benda itu, di dimensi tempat dan titik rotasi waktu yang hampir sama. Suasana ini di jalan ini, suara-suara mesin kendaraan, lantunan lagu berjudul Sarjana Muda yang mengejekku dari radio milik seorang pak tua diatas becaknya, teriakan promosi tukang obat lesehan, dan aku yang sedang menjinjing tas gendong dan map berwarna merah ini di sebuah jalan yang tak kutahu namanya.

Kupikir itulah momen memilukan saat kupilih untuk menjual iPhone-ku, ponsel yang kudapat setelah merengek-rengek pada ayahku sebagai permintaan di hari ulang tahunku yang ke-19. Untuknya, aku harus berpura-pura kabur dari rumah dan mengancam tak akan pulang. Tak sedikitpun ada rasa ingin tahu bagaimana ayah mendapatkan uangnya sampai akhirnya beberapa orang berseragam dinas keamanan datang ke rumah untuk  mencarinya.

Baru kusadari betapa sempurnanya hidupku sebelum mereka hilang ke dalam ruang gelap dan hitam, juga dengan ponsel yang berada di tangan kananku. Kutimang-timang, kuperhatikan sekali lagi setiap sisinya sampai mataku terhenti pada ukiran silver berbentuk buah apel yang tertera di belakangnya, logo apel yang baru dimakan sedikit.

Kenapa begitu banyak yang percaya tentang Eva yang mau menukar surga dengannya? Entah kenapa aku berpikir bahwa itu adalah apel sisa dari surga.

Lalu bagaimana dengan bidadari di rumahku? Bukankah ia juga telah menukar istana dengan kalimat rayuan yang kudapat dari majalah-majalah dan juga hikayat orang jalanan? Semua orang tahu itu tak lebih mahal dari apel.

Sungguh amat besar penyesalanku atasnya. Ambisiku telah membuat perutnya semakin hari semakin tak terlihat sexy. Tapi entah kenapa dari sana aku mulai menyukainya secara ikhlas, bukan lagi karena wajah cantik atau postur tubuhnya yang indah. Bukan lagi karena uang taruhan dan semacamnya.

Hari berikutnya, sepertinya sama juga dengan yang lainnya. Tak kudapati perbedaan melainkan kurekam seorang penjaga toko yang sedang dimarahi wanita gendut, entah dia pemilik toko entah seorang pelanggan yang tidak puas. Hampir tiap hari wanita itu ada disana. Dan, sedang marah-marah.

Tak ada yang berubah disini, melainkan sebuah map yang semakin nyenyak bersemayam di tanganku di sebuah jalan yang masih tak kutahu namanya. Papan nama jalan yang sudah terkorosi akibat panas dan hujan membuat mataku kehilangan kemampuan dalam membaca.

Tempat ini memiliki keunikan sendiri. Ia telah memikatku, juga terhadap orang-orang yang ada di sekitar sini. Jadi bagaimana mungkin tempat seperti ini tak memiliki nama? Entah kenapa ada rasa tertantang saat kupilih untuk terus memikirnya. Otakku terus mengulas kalimat yang sama sampai aku tak sadar tanganku yang secara otomatis telah siap untuk mengetuk pintu kayu depan rumah kecilku.

Aku terdiam. Beberapa kali kuambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya lagi. Pikiranku mulai terpusat pada seorang penyiksa paling kejam dari algojo jail manapun. Di sebalik pintu ini, kuyakin ia pasti tengah menunggu kedatanganku, menunggu jawaban yang berbeda dari sebelumnya.

Sementara tanganku begitu terasa semakin jelas bergetaran. Untuk kesekian kalinya kulepaskan nafas panjang. Mencoba memberanikan diri.

Terdengar suara berat khas pintu tua yang mulai terbuka setelah aku mengetuknya tiga kali. Aku tak tahu seperti apa ekspresiku saat itu. Yang kutahu jantungku berdetak semakin cepat, keringat yang sempat mereda mulai berkeliaran lagi di sekujur tubuh dan wajahku.

“Wa alaikumussalam,” suara yang begitu indah mencoba menjawab salamku. “sudah pulang ya?”

Yah, dialah bidadari yang kumaksud tadi, sekaligus penyiksaku.

Lagi-lagi aku diam. Sementara semua otot gerakku serasa kaku. Andai saja dulu kuliah kedokteranku selesai, mungkin sedikitnya kutahu apa penyebabnya.

“Dhe, aku…”

Dengan pelan ia daratkan telunjuknya di bibirku. “Masuklah dulu dan lepas bajumu, biar kubuatkan teh hangat untukmu.” katanya sambil tersenyum. Ia menyentuh pundakku yang basah saat langkah kakiku melewatinya.

Aku tak tahu apa kata yang tepat untuk mendeskripsikan senyumannya waktu itu. Terlihat begitu tulus. Namun rasa sakit ini semakin menyeruak. Lagi-lagi tanpa sadar ia telah menghukumku, menyiksaku.

Kami duduk berhadapan tersekat meja makan, tapi mata kami tak saling bertatapan. Untuk pertama kalinya kami sama-sama diam, mematung dan melihat meja kayu bertaplak bunga mawar putih yang begitu bersih, selain segelas teh hangat yang baru saja disuguhkan untukku.

Kulihat istriku kemudian hanya menunduk seperti seorang siswi sekolah dasar yang akan dihukum gurunya. Sebelum akhirnya ia mulai berkata-kata. “Kang, sebaiknya malam ini kita ngga usah…”

“Coba tebak hari ini kubawa apa?” Mulai kucoba menguapkan segala kekakuan sambil mengeluarkan beberapa bungkus makanan instan dan minuman kaleng dari tas gendongku. Tuhan, maaafkanlah aku, terpaksa harus kupotong kata-katanya.

“Wah banyak sekali,” teriaknya dengan mata girang dan berbinar, ternyata hanya beberapa detik saja. Kemudian ia meraih tanganku dan membalikannya. “kenapa akang melakukannya lagi?!”

Ia melihat semua bekas jarum yang sebelumnya kututupi dengan plaster untuk mengelabui petugas dalam acara tadi.

“Sekarang-sekarang ini PMI sedang mengadakan acara penggalangan donatur dimana-mana, ngga mungkin kan akang melewatkannya. Cepatlah makan, Dhe. Kamu ngga mau kan bayi kita sedih gara-gara ibunya kelaparan?”

Telah kumanipulasi semua dataku dalam formulirnya. Kutahu, manusia selalu saja ada yang lalai. Bukan ada, tapi banyak.

“Aku ngga lapar!” bantahnya. Matanya memerah tersirami air mata. Ia berdiri. Kemudian setengah berlari masuk menuju kamar. “aku yakin… Bayi kita akan lebih bersedih lagi jika ia tahu apa yang barusan dilakukan ayahnya…!”

Kudengar suara pelan bercampur isak dari dalam kamar. Rupanya itu adalah suara terakhir yang kudengar tadi malam. Aku merasa kini dunia berputar tak beraturan. Tanganku semakin gemetar. Tiap detak jantungku terdengar begitu jelas. Napasku sesak. Ingin sekali kukabari istriku, tapi kuyakin ia sedang menangis. Semuanya membias hitam dan tak terlihat lagi.

Maafkan aku yang akan membuatmu menangis lebih keras lagi, isitriku.

Semua bayangan itu telah kabur terusir suara klakson bis yang melewati jalan ini. Bis tersebut berhenti. “Yah, habis habis!” teriak kondektur.

Rupanya disinilah tempat perhentian terakhir bis ini. Bodohnya aku. Lalu apa nama jalan yang panjang ini? Ah, kenapa juga harus kupertanyakan. Karena hanya akan ada dua kemungkinan untuk namanya. Kembali ingatanku pada setiap uraian si penceramah itu.

Kulihat map yang ada di tanganku. Kubuka sedikit. Aku tersenyum saat melihat sampul bertuliskan riwayat hidup. Baguslah, masih terlihat seperti sebelumnya. Setelah membaca semuanya, kuyakin Dia tetap Maha Mengerti.