Selasa, 26 Juli 2011

Cerita Kami Bertiga

Dimulai dari persahabatan kami; Evan, Doni dan tentu saja aku sendiri, Denry. Kami bersahabat telah lama, bahkan jauh sebelum masuk SD, aku sendiri sudah lupa kapan pertama kali kami saling mengenal dan saling merasakan kenyamanan layaknya sebagai makhluk yang bersinggasana di dalam sebuah istana yang beratasnamakan persahabatan. Baiklah, sebelumnya akan saya jelaskan siapa mereka itu.

Evan, sebut saja nama itu untuk orang yang paling keren diantara kami bertiga. Dia memang anak yang paling beruntung. Keluarganya bisa dibilang termasuk kalangan kelas atas di desa kami. Selain itu, hampir segala hal yang ia inginkan selalu tercapai. Di setiap awal sekolah dia selalu mendapatkan baju baru, sepatu baru, celana baru, alat tulis baru, buku baru, dan senyuman baru dari kami sebagai kata ‘selamat’.

Untuk masalah wanita, jangan dipertanyakan lagi. Bisa dibilang ia selalu mendapatkan wanita yang ia sukai. Mulai dari siswi tercantik di kelas, di sekolah, bahkan di kampung kami sekalipun.

Dia anak kedua dari empat bersaudara. Orangtuanya sangat menyenangi seni, terutama seni musik. Kadang kala saat kami bermain di rumahnya, sering kali kulihat bapaknya tengah memainkan kecapi, dan ibunya yang bersuara merdu mendampinginya dengan lantunan nyanyian Sunda yang begitu nikmat.

Sekarang dia sedang kuliah mengambil bidang keperawatan di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Bandung. Karena jarak Subang-Bandung begitu jauh, ia memutuskan ngekos kamar di sebuah daerah tak jauh dari kampusnya. Saya sendiri sangat jarang kesana karena yang saya tahu, dia selalu berpindah tempat, mungkin setiap tiga bulan sekali. Saat dia merasa kurang nyaman dengan suasana kosannya, dia pasti akan mencari tempat baru, wajar saja karena seperti yang kubilang, dia dari keluarga berada. Itulah hukum yang dia anut sehingga membuatnya terlihat sebagai seseorang yang sangat simpel.

Hukum itu pun berlaku untuk wanita yang ada di sekitarnya, saat ia bosan tentu ia akan meninggalkannya dengan leluasa seberapa pun cantiknya wanita itu. Sedikit banyaknya kutahu kisahnya dengan semua para wanita, sampai yang paling terakhir dia meninggalkan wanita yang biasa kupanggil Nene.

Sebelumnya kukenal siapa sosok Nene itu dari adikku yang satu sekolah saat menempuh jenjang SMP. Sempat kutahu, dulu Nene pernah menyukai adikku. Badannya yang mungil sering sekali menampakkan diri di rumahku. Namun saat itu aku tak begitu mengenalnya lebih. Cerita tentang Nene hanya sebagai seorang teman dekat dari adikku, sekaligus adik dari teman dekatku, namanya Tirta, seorang wanita yang cantik, pintar dan cekatan. Sayangnya, sekarang Tirta sudah menikah dengan seorang lelaki mapan berjabatan tinggi di tempat ia bekerja. Terakhir kudengar tiga minggu yang lalu ia sudah melahirkan seorang puteri.

Kisah berlanjut tentang Nene. Pada suatu sore sepulang saya beraktivitas dan melakukan salah satu hobiku, online. Tiba-tiba dari sudut kanan bawah pada panel facebook keluar seseorang berfoto profil sangat cantik dan mengajakku chat, sambil bertanya “Ini kakanya si Kaze ya?” Tentu saja kujawab iya sambil nanya balik “Ini siapa ya?”

Dia menjawab “Ini Nene, temannya si Kaze, adiknya Teh Tirta, masih ingat ga?”
(Oya, Kaze adalah nama sebutan adikku)
“Iya, masih ingat atuh.” jawabku singkat.
“Tapi tadi seperti yang ga kenal?”
“Sekarang mah terlihat lebih cakep, jadi kirain bukan Nene.”

Dan percakapan kami pun terus berlanjut. Mulai dari menanyakan kabar, kesibukkan masing-masing dan masih banyak lagi. Kami pun bertukaran nomor hape berharap bisa melanjutkan komunikasi. Bisa kusebut itu adalah percakapan yang menyenangkan.

Selanjutnya, setiap hari kami saling mengirim pesan satu sama lain. Dan baru kutahu, di setiap sela-sela teks yang ia kirimkan selalu menyebutkan nama Evan, kutahu nama itu adalah nama sahabatku, bukan yang lain. Ia tetap saja menyebutnya hanya sebatas teman.

Beberapa hari kemudian, Evan datang ke tempat kosanku. Kami berbincang-bincang kesana kemari sampai akhirnya dia menanyakan darimana aku mengenal si Nene. Tentu saja saya tertawa, bukankah itu hal yang lucu. Ia menanyakan sebuah tanya yang seharusnya kupertanyakan untuknya. Aku sudah mengenalnya beberapa tahun lalu sejak ia masih SMP, waktu itu Nene sudah kelas 3 SMA. Akhirnya Evan menjelaskan bahwa ia sempat berhubungan dengan Nene, tapi karena suatu hal, akhirnya ia meninggalkannya tanpa kata yang jelas. Bahkan tanpa kata-kata.

Evan sempat mengatakan padaku, ia merasa bersalah telah meninggalkannya. Kujelaskan Nene sangat sakit hati atas perlakuannya, Evan pun mengiyakan.

“Den, kamu bisa ga mendekatinya? Setidaknya sampai perasaannya kembali netral, tak terlalu mengharapkanku.” Pintanya.

Aku hanya diam saja. tak kuasa juga menolak permintaannya. “Iya.” jawabku asal.

Dari sinilah aku mulai mengemban sebuah misi, mendekatkan diri dengan si Nene sambil mengalihkan perasaanya pada si Evan. Kami terus berkirim pesan seolah menjadi sebuah keharusan di tiap harinya. Tak sedikit Nene mengeluhkan sikap sahabatku, terkadang ia bercerita sambil menangis dengan pengharapan yang penuh.

Jujur saja kata bosan hinggap dengan nyaman saat ia mengadu. Aku harus selalu memberikannya kata-kata semangat yang kubuat dengan ekstra instan. Selalu kubenamkan kata-kata sabar dalam setiap pembicaraanku berharap ia bisa membuka mata bahwa lelaki tak hanya satu. Aku sendiri tahu, Evan melepaskannya karena seorang wanita yang sekampus dengannya, sebut saja Echi, seorang wanita asal Bandung. Selain kuliah, Echi juga bekerja di sebuah mal besar di Bandung. Sedangkan Evan dengan sabar harus selalu stand by untuk mengantar dan menjemputnya, dengan kata lain sebagai supir pribadi.

Evan adalah sosok yang beruntung di segala hal, kecuali untuk nilai raport. Tiadanya nilai merah menjadi sesuatu yang wajib ia syukuri di setiap penghujung semester. Kalau Evan baca ini, jangan komplain yah. Hehee..



Sahabatku yang satu lagi bernama Doni. Dia memang tak seberuntung Evan. Dia lahir dari keluarga yang sederhana.

Doni orangnya sangat ulet, rajin dan pendiam. keuletannya membuahkan hasil sehingga ia mendapatkan predikat sebagai seseorang yang paling pintar diantara kami bertiga. Bisa disimpulkan, Doni merupakan kebalikan dari Evan. Lagi-lagi aku harus berada di posisi tengah diantara mereka.

Karena keadaan ekonominya, Doni tak melanjutkan pendidikannya, ia hanya sampai sekolah di tahap SMA saja. Walaupun tak kuliah, kegigihannya tak mengijinkannya hanya berdiam diri di rumah. Beberapa bulan ia menghabiskan hari-harinya di sebuah lembaga untuk mengikuti training manufaktur secara gratis. Alhasil, dengan sertifikat yang telah dimiliki, sekarang Doni bekerja di sebuah perusahaan asing produsen minuman berkarbonasi taraf internasional sebagai karyawan tetap.

Doni merupakan orang yang sangat sederhana. Hobinya ngurek (mancing belut) di pematang sawah yang tak jauh dari rumahnya. Tapi sekarang tidak lagi, karena ia harus bekerja di perusahaan yang tadi kusebutkan.

Bersambung dulu ah.. Udah malem. Insya Allah nanti kulanjutkan.


Bandung, 26 Juli 2011 01:27

Rabu, 13 Juli 2011

Puisi Tanpa Wajah

Bersama setengah gelas kopi susu
Hendak kusimpan wajahmu
Diantara satu dua bintang yang belum mau pulang

Pasti akan datang seorang ayah
Datang ke rumahku dengan marah
Setelah mendapati putrinya di pagi nanti
Tanpa wajah

Hehee.. Tanpa wajah





Minggu, 10 Juli 2011

Setahun Bersama Kopisusu

Seiring lajuan waktu yang tak pernah berhenti seper tak hingga detik pun, sangat banyak hal yang terlewatkan oleh kita bersama walaupun di dimensi ruang yang berbeda. Dan itu berlaku bagi kita semua, Anda dan saya (selaku penulis Kopisusu).


Ternyata memang benar apa kata orang bahwa di dunia ini begitu banyak hiasan bergemerlapan yang seringkali membuat kita lupa, lupa dengan hal-hal di samping kita termasuk waktu itu sendiri. Barangkali hal itulah yang membuat saya terlena dalam menikmati suguhan dunia hingga saya sendiri tak sadar atas kehadiran Kopisusu yang selalu mau menerima segala coretan kecil saya, telah menginjak usia satu tahun.


Begitu banyak perubahan dalam penampilan Kopisusu dari awal saya membuatnya sampai sekarang ini. Hal itu tentunya tak terlepas dari kritik dan saran yang membangun dari Anda semuanya ataupun rekan saya yang memang kebetulan selalu bersinggungan langsung setiap harinya.


Inilah Tujuh Metamorfosis Kopisusu :




Kopisusu 1




Kopisusu 2



Kopisusu 3



Kopisusu 4




Kopisusu 5




Kopisusu 6




Kopisusu 7


Insya Allah untuk kedepannya, saya selaku penulis akan selalu berusaha yang terbaik bagi pembaca semuanya. Oleh karenanya; dukungan, kritik dan saran sangat saya harapkan.


Ada sejuta kata terimakasih yang ingin saya sampaikan kepada semuanya atas segalanya, walaupun saya tahu itu tak sebanding dengan yang telah Anda berikan, karena kata tak selalu mampu mewakili keinginan hati.




Terimakasih. Salam Kopisusu.



Minggu, 03 Juli 2011

Sepasang Purnama

Lampu kamarku kian meredup
Diam-diam merayu cahaya mengendap masuk
Sementara angin dingin mulai mengintip
Dari celah tirai jendela yang ia buka

Tak dapat kutahan seribu senyum
Melihat tanda tanya di wajahnya begitu ranum
Mereka berdua
Samasama tak kuasa mencerna
Tentang rindu atas sepasang purnama
Yang bertahta diantara katup matamu, wahai wanita