Senin, 19 Juli 2010

Kampungku, Pengasinganku

Tak sengaja menyentuh tumpahan kayu bakar kering
Tergeletak bersama tungku tua
Tiap hari berarang di belakang rumah
Tanpa bilik
Hanya dibatasi pagar bambu setia


Disini aku jatuhkan beban
Ketika menyaksikan tawa lepas ketiga bocah desa
Terlihat dari sela-sela pohon pisang
Bergerak disanjung angin
Tengah memainkan kulit bundar


Rasanya ini kali baru kulihat lagi
Bait-bait pesona keceriaan
Dulu yang telah
terbenam
Atau aku yang menghilang darinya
Dari tempat kecil kelahiranku




Kumerasa terasing di kampung halaman sendiri. Begitu banyak perubahan terjadi disini.



Subang 2010




Sabtu, 17 Juli 2010

Tiada Alasan

20 April 2010: Berjejer menunggu warna hijau


Seperti yang dibicarakan baru-baru ini langit Bandung tampak cerah dari biasanya. Penduduk pun dibuatnya gerah gelisah.
 
Di suatu lampu merah Cipaganti sepulang dari BEC mengantar teman. Puluhan kendaraan berderet tak bergerak menanti isyarat. Padahal sudah pukul tiga sore, tapi panas masih betah selimuti kota kembang.
 
Walau bernaungkan helm hingga terpeluk baja kuat, tetap tak menyurutkan tuk berprotes pada alam. Panas, panas dan panas. Kata sama dari kalimat-kalimat yang terucap puluhan orang disini.
 
Hal yang kontras tumbuh di depan sana di samping jalan. Dari atas motor temanku, kulihat pria yang mungkin sebaya dengan bapakku tengah memainkan drama. Ditemani alat musik seadanya, menyutradai monyetnya lewat seutas tali. Ada yang terhibur juga sebaliknya.



 
   

Seseorang di balik mobil silvernya yang tepat berada di samping hiburan tersebut membuka kaca jendela. Hanya tangannya yang keluar menggenggam secercah rupiah lalu membuangnya. Pria itu langsung memungutnya. Dengan anggukan berhias senyum ramah, ia seperti penuh berterima kasih.

Tak lama, lampu hijau menyala menghentikan arus jalan di seberang sana. Ditinggalnya pria itu dalam syukur oleh puluhan kendaraan yang sejenak diam dengan acuh.
 
Padahal hanya beralaskan tikar lusuh berpayung topi sederhana, tapi pria itu masih tersenyum segar dalam raga lelah di bawah sengatan raja siang. Aku terhanyut dalam suasana, sepertinya Dia sedang memperlihatkan hakikat ikhlas dan syukur. Aku jadi malu.
 
Teruntuk si pria kuat, tetap jalani harimu penuh semangat dan santun. Tiada alasan untuk menepisnya.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا  
Karena sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan.




Bandung 2010

Jumat, 16 Juli 2010

Tak Pantas Jadi Mahasiswa

Pagi-pagi sekitar jam tujuh lewat ada sesuatu yang mengganggu, sulit untuk diabaikan. Rencana tiduran pun dibuatnya mengalah.
 
Padahal malas keluar. Tapi mau bagaimana lagi, perut egois ini tak bisa kompromi. Sepertinya cacing-cacing di usus pun berteriak penuh amarah. Dengan lapang dada, aku mengalah saja lah untuk keluar mencari makanan kecil. Yang penting bisa menenangkan si lapar yang menggerogoti perutku.
 
Rupanya suasana di luar masih ramai oleh tukang sayuran walaupun sang mentari sudah mengambil posisi. Banyak orang-orang berlalu lalang memenuhi aktivitasnya masing-masing. Ada yang membeli sayuran, berangkat sekolah, berangkat kerja, dan ada pula mahasiswa yang hendak kuliah. Sedangkan aku sendiri yang kebetulan tak ada jadwal hari ini berencana berdiam diri di kosan.

 
Walau mataku terganggu melihat mereka yang tak mau diam, seketika itu langsung memfokuskan diri semula pada tujuan utama, 'Mencari Makanan'. Akhirnya kudapati seorang wanita renta masih dengan dagangannya di atas meja. Langsung kupercepat langkah dengan mantap.

"Bu, ada apa aja?" Tanyaku pada sang pedagang sesaat tiba di depannya.
 
"Ada nasi kuning, soto, sama ketoprak" Jawabnya dengan ramah.
 
Alhamdulillah, ternyata masih ada rezeki buat perutku pagi ini.
 
"Ketopraknya satu, Bu. Dibungkus" Pintaku.
 
"Pedes, De?"
 
"Ah sedang aja, Bu. Takut sakit perut"
 
Dengan sedikit tersenyum mendengar jawabanku itu, ibu sang pedagang pun langsung membuatnya dengan cepat. Padahal di atas meja begitu banyak wadah, tapi tak satupun bumbu yang tertukar (Mungkin karena sudah biasa kali ya, hingga tangannya terprogram otomatis mengambil ini itu saat kusebut kata 'ketoprak'. Hehe..).
 
Sambil menunggu, aku duduk di kursi yang tersedia memerhatikan ketangkasan si ibu.
 
"Ini, De"

Akhirnya selesai juga.
 
"Berapa, Bu?" Tanyaku. Karena sebelumnya aku tak pernah sarapan pagi-pagi.
 
"Buat Ade mah 3.500 aja. Soalnya kalo buat mahasiswa kan biasanya 4.000," Jawab si Ibu.
 
Kubalas dengan senyuman terpaksa. Memangnya aku terlihat tak seperti mahasiswa ya? Tanyaku dalam hati.
 
Aku hanya diam sambil memegang dompet. Bingung. Apa yang harus kuperbuat.
 
Jika kubayar hanya 3.500, berarti aku telah membohongi si ibu. Tapi bicara jujur rasanya tak memungkinkan, tak tega melihat si ibu jadi tersipu malu.
 
Akhirnya kuputuskan untuk membayar 4.000 dengan alasan ambil saja kembaliannya. Padahal di dompet ada beberapa koin gope-an. Biasa lah, anak kosan hobinya ngoleksi uang koin.
 
Uh.. Ada-ada saja. Tapi kumaklum, namanya juga ibu-ibu.

 

Mungkin lain kali aku harus lebih rajin lagi memakai jas almamater. Sekaligus membuktikan pada dunia bahwa...
 
"Aku adalah Mahasiswa Teknik Refrigerasi dari Universitas Pendidikan Indonesia"


Hehehe..










  Bandung 2010



Rabu, 14 Juli 2010

Senja yang Indah

Dalam sebuah elf, masih di perjalanan menuju pulang ke Subang dua minggu lalu. Aku duduk di kursi paling belakang sambil mendengarkan musik di W302-ku. Dengan menyenderkan kepala pada kaca jendela, bermaksud menikmati biasan cahaya jingga saat itu.

Tiba di ujung Lembang, di balik kaca berdebu kulihat beberapa pria dewasa tengah bermain bola di sebuah lapangan merah berumput miskin. Jumlahnya tak banyak seperti pertandingan kebanyakan lainnya. Mungkin hanya sekitar delapan orang (Aku tak sempat menghitungnya).

Yang membuatku tertarik bukan pertandingan yang kulihat selintas itu. Mataku tertuju fokus pada 
seorang ibu muda mengais bayinya di pinggir lapangan. Dia seperti berbisik pada si bayi tertulis dalam laku jelas menunjuk salah satu sang pemain. Aku langsung berpikir mungkin itu suaminya.

Tak begitu tahu apa yang tersirat dalam paras bahagianya.. Mungkin ia tengah membisikkan suatu kalimat pada si bayi, "Lihatlah, Nak. Ayahmu tampak begitu gagah dengan seragam bolanya". Atau mungkin yang keluar adalah bisikan "Nak, esok nanti saat kau tak lagi di pangkuan, Ibu ingin melihatmu menjadi tokoh seperti yang Ibu lihat sekarang".





Entahlah.. Apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Tapi satu yang meleburkan keraguan menaburkan kepastian, kuyakin mereka turut berbaur dalam keindahan senja di luar sana.
Subhanallah..



Bandung, 17 April 2010 | 07:32




Selasa, 13 Juli 2010

Skenario-Nya

Ini kisah di suatu rumah kontrakan di Jalan Negla Utara-Bandung.


Kemarin, malam sebelumnya.. Seperti biasa kami: Indra, Dika (Kebit), Yogi dan saya tentunya memang sering ngobrol-ngobrol di ruang tamu, lebih tepatnya sih tempat menyimpan motor-motor (Biasa lah.. Namanya juga rumah kontrakan, ruang tamu pun bisa merangkap garasi. Hehe..). Kami berempat membicarakan segala hal. Dari semua yang terjadi hari ini, yang telah lalu, bahkan sampai berangan-angan masa yang akan datang.




Hingga pada suatu titik, Indra akhirnya menceritakan keluhnya mengenai rencana jual motor CB100 miliknya yang kebetulan ada seseorang di Jakarta menawar dengan harga Rp 2,7 Juta lewat Kaskus. Harga itu ia minta sudah dengan pengiriman, tanpa menambah biaya lagi (Maksudnya biaya pengiriman sebesar Rp 150 Ribu). Indra belum menyetujuinya, bukan karena harus mengeluarkan biaya tambahan prihal pengiriman motornya dari Bandung ke Jakarta.




 
Sebenarnya sudah laku pun syukur, karena ia memang hendak menjual motor tersebut jauh hari sebelumnya, apalagi dengan harga cukup lah. Namun yang menjadi persoalan, pembeli asal Jakarta itu hanya mau membayar setengahnya dulu dan membayar sisanya setelah motor berada ditangannya.


Hal yang dilematis. Di satu sisi ingin segera laku, tapi di sisi lain bisa saja ini sesuatu yang tak diinginkan. Takut modus penipuan.

Masing-masing mengeluarkan argumennya memberi tanggapan mencoba memecahkan masalah. Tiba-tiba semuanya tertahan oleh suara pesan dari salah seorang sahabat di tempat yang berbeda, Habi namanya. Ia meminta agar Indra segera ke warnet dan mengecek kaskus, tanpa memberitahu ada apa.

Menerima SMS tersebut, Indra langsung cabut ke warnet Barokah, sebuah warnet dekat kami tinggal. Sedangkan bertiga lainnya, termasuk saya hanya diam dalam tanya.

Tak memboroskan waktu, akhirnya Indra datang dengan wajah berseri. Ternyata ada seorang pembeli asal Antapani-Bandung menyanggupinya dengan harga 2,65 Juta, katanya. Ia meminta bertemu di UPI, kampus dimana kami kuliah (jarak yang dekat). Tanpa berdiskusi, Indra pun menyetujuinya. Let's Rock, itulah istilah yang pantas keluar.


Alhamdulillah.. Transaksi pun terjadi di tanah Bumi Siliwangi ini.



Mungkin tak semua yang terjadi sesuai dengan keinginan kita, rencana kita. Tapi jauh di atas segalanya, skenario-Nya memang sungguh INDAH.

"Rezeki takkan kemana", begitu sering orang tua bilang.
 

Wallahu a'lam..




Bandung, 13 April 2010 | 03:40




Minggu, 11 Juli 2010

BUKU TAMU


ShoutMix chat widget

Sabtu, 10 Juli 2010

Coffee Milk

Tak banyak separuh waktu kupakai untuk merenung. Mentafakuri agar dapat mengerti arti hidup. 

Pun tak banyak aku memanen dari yang sedikit ini pada ladang keawaman. Bahkan aku lupa pernah menuai atau tidak. 
 
Sejauh langkah mengukir bumi, hanya ada hal mengakar dalam pikiran. Hal yang menyuburkan keyakinan, menggugurkan keraguan. Walau masih secuil yang jatuh di tanah dan hancur terinjak.

 
Menurutku.. Sedih dan bahagia haruslah tetap ada. Mereka indah kala berdampingan, seperti kopi dan susu dalam secangkir air bening. Baru nikmat jika kutambah gula.



Menurutku.. Sedih dan bahagia haruslah tetap ada. Mereka indah kala berdampingan, seperti kopi dan susu dalam secangkir air bening. Baru nikmat jika kutambah gula.

    
Andai benar adanya, cukup air bening dan gula harus kucari. Entah dimana dapat kugenggam kebeningan hati dan senyuman manis.

Tak mudah mencari di tempat yang dekat namun tertutup ketidaksadaran diri.

Wallahu a'lam.




Bandung 2010