Rabu, 10 Februari 2016

Surat Buat Adikku, Kijung

Teruntuk adikku yang tak seganteng kakaknya:


Berangkat dari obrolan terakhir kita tentang proposal skripsimu. Sebelum proposal itu kau serahkan ke dosen pilihanmu, ada baiknya telepon dulu si Emih dan si Bapak untuk memastikan 2 hal. Anggap saja ini sedikit saran dari kakakmu, iya sedikit, paling cuma beberapa paragraf lah.


Pertama, kau pasti paham bahwa restu Tuhan bergantung pada restu orangtua. Nah, tugasmu kini: mintalah restu untuk proposalmu. Atas restu mereka, setidaknya berbagai penolakan dari para dosen dapat diminimalisir. Karena percayalah, adikku, dalam segi apapun, penolakan selalu meninggalkan luka.




Kedua, mengenai struktural keluarga kita. Ini yang paling penting. Selama kamu pergi, ada banyak revolusi terjadi di rumah kita. Contoh nyatanya, kini kamar tidurmu telah berubah jadi gudang, tempat berkumpulnya tikus, kecoa, dan kutu busuk untuk bergosip. Bisa kamu bayangkan bagaimana mengerikannya itu. Tapi jauh di luar asumsi kita, ada yang lebih mengerikan lagi. Semua revolusi ini bisa jadi merupakan teguran tegas untukmu karena jarang pulang. Iya, jika hari ini kamarmu yang hilang, maka besok-besok mungkin namamu yang hilang dari Kartu Keluarga. Waspadalah!


Tuh 'kan cuma beberapa paragraf.


Selamat malam dan selamat berjuang. Pastikan semangatmu tetap menjulang tinggi. Kalaupun sesekali merosot, ingatlah nama keren yang akan kaubawa seumur hidup: Dadan Danry Hendrawan, S.Hum.


Dari Kakak Dunia-Akhirat-Mu,
Deden Denry Musthafa

Selasa, 27 Oktober 2015

Drama Media dan Gambar Curian

Banyak sekali foto-foto yang berseliweran di timeline. Posenya hampir sama, seorang anak polos, remaja, atau paruh baya memegang kertas A4 di depan dada. Isinya juga sama, antara lain: keluhan-keluhan, tantangan, bahkan ancaman, yang khusus ditujukan untuk Pak Presiden. Lebih kreatif lagi, ada yang edit foto pake efek asap-asap gitu, padahal sedang di ibukota. Sebenarnya sah-sah saja sih, selama di balik acara foto-foto itu terdapat usaha nyata. Karena, berharap tanpa usaha mengindikasikan kebodohan, sedangkan berusaha tanpa harapan jelas lebih bodoh lagi.

Yang saya khawatirkan, ketika presiden benar-benar mundur dari kursinya, lalu si pengganti yang sosoknya masih misterius-pun akhirnya nyengir sambil angkat tangan dalam mengakali masalah asap ini, rakyat benar-benar kecewa stadium akhir. Kekecewaan yang bukan lagi ditujukan untuk pemerintah, tapi pada skala yang jauh lebih melangit. Misalnya, bermunculan kembali kertas-kertas di dada yang berisikan tulisan: "Tuhan, jika dalam 3x24 jam ini permasalahan asap masih belum tuntas, saya akan pindah agama." Mengerikan sekali kan? Ini baru misal lho..

Seakan menambah kemirisan negeri ini, media-media informasi malah ikut bercileupeung ria dengan aksi-aksi semacam itu. Mereka menulis berita-berita tersebut sepanjang hari, mungkin diupdate per-jam, lalu diracik jadi amunisi untuk lawan politik para direksi dan investornya. Atau tak ubahnya sebagai pelet pendongkrak demi melambungnya jumlah klik dan share. Padahal di TKP sana, setidaknya dalam dua bulan terakhir, ada banyak pemuda yang menginvertasikan waktunya untuk aksi nyata, bukan cuma menggerutu, atau sekedar foto-foto. Sialnya, aksi beginian kurang menarik untuk ditulis, apalagi dibaca!


**
Ini gambar manual cetak biru sebuah air-purifilieur yang saya dapatkan beberapa hari lalu dari sahabat saya. Gambar ini dia curi dari postingan seorang mahasiswi ITB. Bagaimana cara kerja alat ini memang cukup logis. Dengan otak pas-pasan, saya coba cari relasi antara logika saya dan teorinya yang kebetulan belum saya ketahui. Hingga saat ini hasilnya masih nihil. Tapi alhamdulillah, sore tadi saya dapat kabar kalau alat ini sudah mulai diaplikasikan di TKP.



Kamis, 04 Desember 2014

Surat Untuk Dewi


Bagaimana kabarmu, Wi? Sehatkah? 

Lama tak bertukar sapa denganmu. Lama tak kucicipi teh manis yg kamu antar ke kamarku, juga nasi bungkus sisa acara kampus yg kutunggu tengah malam. Atau juga film-film hollywood itu, terutama Forest Gumm. Siapa sangka kamu seberharga itu. 

Sekarang mah sepi. Seperti kembali ke hari-hari ketika kita tak saling mengenal. Tapi saat itu setidaknya ada senyummu kutangkap meski tak seminggu sekali, meski tak selalu kamu sadari. 

Bagaimana dengan kisah cintamu? Masih single-kah? Ah, biar kusederhanakan lagi tanyaku: 
Bagaimana dengan sahabatku itu? 

Iya, Wi, dia masih setia mengagumimu. Kamu hampir selalu jadi topik utama dalam obrolan terpenting kami. Selebihnya hanya tentang anime. 

Sebenarnya akulah yg selalu mengawali obrolan tentangmu. Kau masih ingat 'kan kalimat sederhanamu; "Tidak ada yang nyata di dunia ini kecuali keyakinanmu" itu? Hampir tiap hari aku membacanya, hampir sesering itu juga aku mengingatmu, karena kusimpan di bagian sudut kamar yg paling sering kulihat, bersebelahan dengan cantiknya foto kekasihku. 

Ada 3 hal lagi yg selalu bikin ingat kamu. Lukisan "Pak Tua" karyamu, seutas gelang pemberianmu (kamu harus bersyukur, aku tak pernah sekalipun melepasnya), dan selembar coretan yg kamu tulis di malam terakhir kamu tinggal di kosan. 

Kemarin sore aku beres-beres kamar, lalu tak sengaja menemukannya. Aku senyum-senyum sendiri pas baca tulisanmu itu. Sedikit kaget juga waktu kutahu ternyata hari itu tanggal 3 Desember 2012, sama dengan tanggal kemarin. Sekarang sudah jam dua dini hari, Wi, sudah masuk tanggal 4, tanggal perpisahan sudah lewat, berharap kita bisa memulai lagi semuanya; silaturahmi kita. 

Oh iya, aku masih sangat ingat. Katamu, akulah penghuni kosan yg paling jarang terlihat pergi ke kamar mandi. Iya, kamu benar. Mungkin itu sebabnya 2 tahun pertama kita begitu sulit berkenalan, karena bertemu pun jarang. Salahmu sendiri punya kamar kosan dekat kamar mandi. Hehee 
 saja kekasihku sedang ngomel sambil cemberut. Hmmm, akhirnya aku berani berkali-kali 
Tapi kini kebiasaan lamaku perlahan-lahan sudah kubuang, Wi. Tuhan tak membiarkanku tetap jadi hamba nakal. Dia sungguh Maha Baik, hingga setahun lalu Dia mengirimiku bidadari imut yg amat cerewet, dan akan semakin cerewet tiap kali aku malas mandi. Jika malas itu datang, kubayangkanmenyebutnya kekasih. 

Kini hidupku jauh lebih baik, Wi. Kuharap kamu tak kaget. Kamarku jarang berantakan lagi, aku juga punya beberapa kameja rapih, dan yg terpenting tiap bulan perlengkapan mandiku habis kupakai. Aku bahagia mengenalnya, seperti halnya mengenalmu. 

Ngetik banyak di hape tuh cangkeul ya. Tapi lebih cangkeul lagi nahan rindu. Jadi, kapan atuh kita bisa ketemu? 




Salam Celepuk, 

Minggu, 01 Juni 2014

Move On, Bray...


Melupakan itu hampir mustahil, karena dari mulai TK hingga bangku kuliah yg kupelajari adalah mengingat, bukan sebaliknya. Jadi sangatlah jelas kalau manusia (khususnya aku) benar-benar tak terlatih dalam hal melupakan. 

Faktanya mungkin ini sebatas teoriku saja. Sedikit iseng juga sih dalam rangka menghindari lamunan. Sebab terjaga sendiri pada pukul 03:30 adalah saat-saat dimana sisi perasaan akan sangat mendominasi dan berujung pada kegalauan yang lebih agresif. Lalu untuk mensiasatinya, menulis pun jadi satu-satunya alternatif. 

Bicara tentang perasaanku, jujur ada seseorang yg sekarang-sekarang ini ingin kulupakan. Mulai perhatiannya, nada khas suaranya, tawanya, bahkan senyumnya yang manis. Terlebih keberadaannya. Maaf jika ada wanita yg merasa, anggap saja ini perkataan terliarku. 

Namun seperti yang kujelaskan diatas, sekeras apapun upaya untuk melupakan seorang kekasih hanya akan membuahkan satu kegagalan besar. Cukup membuktikan betapa tak terlatihnya aku. 

Apakah jalan keluarnya hanya melupakan? Jawaban perasaan tentu saja "iya". Tapi coba sesekali bertanya pada logika. Ada dan tiadanya kekasih, hidup tetaplah harus berjalan. Amat bodoh jika terus-menerus bersimpuh dalam zona keterpurukan. Amat bego juga jika selalu menempatkan harapan pada seseorang yg jelas-jelas merasa terbebani. Move on bray, biasanya kalimat ini yg kudapat dari mulut-mulut sahabatku. Aku setuju. 

Cuma yang menjadi persoalan, banyak dari kita menyangka move on adalah istilah lain dari melupakan. Jelas penafsirannya tak seperti itu. Coba deh buka lagi kamusnya, move artinya bergerak, yang tak ada sangkut-pautnya dengan kata forget.



Move on bisa diawali dengan kegiatan positif, mencari aktivitas baru, menyibukkan diri di komunitas sosial, ataupun silaturrahmi dengan kawan lama. Intinya cari keasyikan di sela-sela rutinitas galau. Jika agenda baru ini ditempatkan sebagai proses memperbaiki diri dengan harapan kelak dapat menjadi pribadi yang pas untuk bersanding bersamanya, kurasa itu sah-sah saja selama tak memaksakan kehendak pada keputusannya. Karena dalam pemikiranku: 
"Jika menjadi orang lain untuknya saja tak bisa, apalagi jadi kekasihnya." 

Apa salahnya membiarkan orang yg disayang menikmati setiap kebahagiannya? Semakin yakin kitalah yang bisa membahagiakannya, semakin egoislah kita, terlebih di hadapannya. Semakin hebat usaha kita untuk mengusik alur hidupnya, semakin kuat bukti bahwa diri ini tak mampu membahagiakannya. 

Jadi kini aku membiarkannya? Memang. Satu hal yang pantas kulakukan saat ini selain berdoa. Seperti kata Sapardi; aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu. Juga kebahagiaanmu, timpalku. 

__________ 


Selamat pagi, kekasihku. Semoga kedekatan pagi dengan adzan shubuh senantiasa mengibaratkan dekatnya kebahagiaan dalam tiap aktivitasmu.



Minggu, 24 November 2013

Catatan Rasa Mocca

Aroma moccacinno masih sepekat dua hari yang lalu, saat kedua telingaku benar-benar dimanjakan oleh khayalanmu. Entah inspirasi entah ingatanku yang terbuka kembali, seketika ingin kutulis semua tentang malam itu. Kupikir atas alasan yang sama pulalah jika salah satu temanku yang seorang penyair selalu membutuhkan secangkir kopi saat hendak menulis.
Katamu: 

"Jika aku mampu mengubah takdir, aku ingin terlahir hanya dua atau tiga tahun lebih muda darimu, tak sejauh ini. Setiap hari aku akan menyemangatimu, lalu kaupun menyelesaikan kuliahmu dengan cepat. Dan hari ini, kita sama-sama punya pekerjaan yang baik serta seorang anak yang sedang lucu-lucunya, ia berusia satu tahun."




Aku benar-benar lupa seberapa bahagianya aku malam itu. Percayalah, aku tak melupakannya dengan sengaja. Mungkin Tuhan hanya menginginkanku tampak bersikap wajar, tanpa harus dinilai gila karena tak mampu menghentikan senyum tiap kali aku mengingatnya.



Selasa, 10 September 2013

Hari yang SIAL

SIAAAAAL banget sih...



Hari ini di atas meja makan cuma ada sepotong dada, bagian yg paling ngga kusuka dari ayam goreng. Mungkin itu cuma satu-satunya menu siang ini.

Karena rasa lapar, aku memaksakan diri untuk nyubit dada tersebut sedikit saja sambil berharap kali ini rasanya seperti potongan sayap yg digoreng kering, tapi tetep aja sama, ngga enak sama sekali. Eh, tanpa sadar aku berhasil memakan dada tersebut hingga tak bersisa, kecuali beberapa tulangnya.

Sekarang, setelah kumakan semuanya, malah ngerasa makin sial. Mungkin lain kali saya akan meminta si Emih supaya ngga naruh cuma sepotong dada ayam lagi.

Kenapa si Emih naruh dadanya cuma sepotong?
Kenapa ngga dua gitu? Tiga?
HEUUH, jadi ga bisa nambah kan...


Senin, 15 Juli 2013

Cuma Coretan

Situasi ini mengingatkanku pada lucunya sinetron di negeri kita. Ada satu adegan ketika seseorang sedang memukuli seorang Dokter karena tak mampu menyelamatkan orang yang dicintainya; baik itu karena penyakit parah maupun kecelakaan.
Bagaimana bisa seseorang begitu wajar untuk disalahkan atas kematian orang lain, hanya karena ia mengetahui dengan baik alasan berita duka tersebut?

Begitupun denganku..
Aku berani bertaruh, sebanyak orang yang kalian kenal, mungkin akulah satu-satunya orang paling "kepo". Selalu ingin tahu setiap masalah yang sedang menyapa sahabatku. Selalu mau menjadi pendengar di tengah-tengah teriakan masalahku sendiri. Bahkan tak kadang aku mencari celah dalam mendekati kekasih sahabatku hingga akrab, berharap bisa menjadi pihak penengah diantara kisah-kisah asmara mereka.

Apa aku melakukannya agar tak terlihat sebagai orang yang kurang kerjaan? TIDAK.
Alasannya amat sederhana. Aku begitu mengagumi Fisika, juga dengan hukum-hukum di dalamnya, terutama Hukum Newton II: aksi-reaksi (apa yang kamu beri, itu yang kamu terima).
Selalu ada harapan mungil bahwa di setiap langkahku akan ada seseorang yang mau menjadi penengah saat aku tersudutkan masalah yang sama dengan kekasihku kelak.




Namun inilah kenyataan, tak selalu seperti harapan.
Barangkali inilah yang sama-sama kita sebut masalah, saat rasa sakit hati boleh menginjak-injak kesadaran dan hal itu menjadi sebuah kewajaran. Memang tak ada yang salah (bahkan pada saat kalian mengumpat dalam status facebook yang ditujukan untukku), karena sinetron pun mengajarkannya begitu.
Harus kuterima, kali ini aku memang ditakdirkan setaraf dokter sial yang dicaci keluarga pasiennya. Padahal ia tak lebih dari seorang mantan mahasiswa kedokteran yang mempelajari tubuh manusia beserta komplikasi di dalamnya.
Jika kalian telusuri lagi, akupun begitu, hanya seorang mahasiswa yang hendak mengimplementasikan keilmuan psikologi-nya; mencoba menyederhanakan setiap masalah, merumuskannya lalu menjadikannya pengalaman hidup.

-------

JUJUR... Semua hal yang pernah kulakukan akan terlihat sia-sia tanpa penilaian positif dari kalian.
Apakah aku harus membeberkannya disini? Oke.
Akulah orang yang selalu memberitahu pacar kalian, bahwa aku memiliki sahabat yang baik, yang tak seharusnya dijatuhi pikiran buruk.
Akulah orang yang selalu mengatakan pada pacar kalian, bahwa sahabatku sebenarnya menyesal telah menyakitinya.
Akulah orang yang selalu menghapus air mata pacar kalian tanpa tisu, lalu mengubahnya menjadi tawa-tawa kecil.
Dan akulah orang yang selalu tampil bodoh dan konyol di hadapan pacar kalian, agar kita semua bisa larut  dalam wadah yang sama.

"Sejak kecil, cita-citaku bukanlah menjadi selebriti. Wajar kalo aku kurang suka DIGOSIPIN, apalagi DITUDUH.."