Senin, 29 Oktober 2012

Selamat Tinggal Matahariku


Aku punya banyak sahabat perempuan, salah satunya bernama Dewi. Kami bersahabat sangat lama. Dan aku mengenalnya lebih dari setengah usiaku.

Hampir tak ada hari yang kami lewatkan untuk saling berkirim pesan yang isinya lebih banyak bercerita tentang pasangan masing-masing. Kadang juga masalah keluarga, sahabat-sahabat, ataupun lainnya.

Tiba saat Dewi telah bertunangan, komunikasi antara kami pun jadi sedikit berbatas. Semakin hari semakin berkurang, sampai tak pernah ada pesan lagi.

Di suatu malam, akhirnya kuterima pesan darinya secara tiba-tiba:
"Keluarga udah nentukan hari, sekitar tiga bulan lagi, tepatnya tanggal 20 Oktober tahun ini. Kamu harus datang ya, acaranya hari sabtu ko. Jangan lupa bawa seseorang yang paling kamu cinta, setidaknya sebagai kado pernikahanku."

Begitu kira2 pesan yang kuterima. Lalu kubalas dengan penolakan. Tak mungkin aku datang dengan Lisa. Ia masih pacar orang.



Sebulan-dua bulan telah berlalu. Pesan datang lagi dari Dewi:
"Oya, aku juga mengundang Lisa ko, jadi ga ada alasan kamu buat ga datang dengannya.."

Aku menghela nafas panjang. Hmm, dasar perempuan, selalu saja memaksa.

Dewi memang cerdas. Lisa yang bukan sahabatnya takkan datang sendiri, ia tentu butuh seseorang yang sangat mengenal Dewi, yaitu aku sendiri.

Sedangkan Lisa hanya menerimanya tanpa memikirkan tentang undangan itu. Mungkin di pikirannya sah-sah saja, karena beberapa hari sebelumnya Dewi telah menghadiri acara resepsi pernikahan kakaknya.

Tanggal 20 Oktober pun tiba. Aku berhasil membujuk Lisa untuk bisa mendampingiku ke acara tersebut. Kulihat Dewi menyambutku dengan bahagia. Mungkin karena ia baru melihatku berjalan dengan seorang wanita yg kucinta tepat di depan matanya.

Tanpa cemburu, malam selalu merayuku untuk bercerita tentang dua matahari. Dua sumber cahaya dari seluruh warna-warni hidupku. Sahabat dan Cinta.

Rupanya malam itu aku harus merelakan matahari-matahariku tenggelam. Malam itu bukan hanya malam terakhir aku melihat status kelajangan Dewi, tapi juga sebagai malam terakhir kedekatanku dengan Lisa. Sepulang dari acara, Lisa memutuskan untuk menjauh dariku dan memilih pacarnya yang bodoh.

Kuterima saja lah walau dengan berat hati. Aku sudah memberikan kado terbaik untuk sahabatku. Dan aku sudah menjadikan Lisa sebagai satu-satunya ratu di istanaku.

Dua kalimat lirih menggores di hatiku saat itu:
Selamat tinggal, Wi. Kita telah berbeda status..
Selamat tinggal, Sa. Kita telah berbeda arah jalan..

 

Senin, 22 Oktober 2012

Tentang Mimpi Indahku

Sejak kecil, aku mulai memimpikan hal yang hampir tak mungkin. Saat setiap anak seumuran denganku menginginkan dirinya menjadi seorang dokter, pilot, ataupun insinyur, anehnya dengan bangga aku ingin menjadi astronot biar bisa jalan-jalan ke bulan.

Diantara tanda tanya yang terlukis pada wajah-wajah temanku, kulihat Ibu Nati selaku guru yang mengajar di kelasku hanya tersenyum sederhana. Namun kelembutan matanya seakan dengan tegas berkata padaku untuk terus bermimpi walau suatu hari nanti kemustahilan itu mungkin akan membunuhku.

Jadi jangan heran jika setelah dewasa pun aku masih suka memimpikan hal yang tak mungkin, termasuk bermimpi indah untuk MEMILIKIMU..





Bandung, 22 Oktober 2012 21:49