Minggu, 01 Juni 2014

Move On, Bray...


Melupakan itu hampir mustahil, karena dari mulai TK hingga bangku kuliah yg kupelajari adalah mengingat, bukan sebaliknya. Jadi sangatlah jelas kalau manusia (khususnya aku) benar-benar tak terlatih dalam hal melupakan. 

Faktanya mungkin ini sebatas teoriku saja. Sedikit iseng juga sih dalam rangka menghindari lamunan. Sebab terjaga sendiri pada pukul 03:30 adalah saat-saat dimana sisi perasaan akan sangat mendominasi dan berujung pada kegalauan yang lebih agresif. Lalu untuk mensiasatinya, menulis pun jadi satu-satunya alternatif. 

Bicara tentang perasaanku, jujur ada seseorang yg sekarang-sekarang ini ingin kulupakan. Mulai perhatiannya, nada khas suaranya, tawanya, bahkan senyumnya yang manis. Terlebih keberadaannya. Maaf jika ada wanita yg merasa, anggap saja ini perkataan terliarku. 

Namun seperti yang kujelaskan diatas, sekeras apapun upaya untuk melupakan seorang kekasih hanya akan membuahkan satu kegagalan besar. Cukup membuktikan betapa tak terlatihnya aku. 

Apakah jalan keluarnya hanya melupakan? Jawaban perasaan tentu saja "iya". Tapi coba sesekali bertanya pada logika. Ada dan tiadanya kekasih, hidup tetaplah harus berjalan. Amat bodoh jika terus-menerus bersimpuh dalam zona keterpurukan. Amat bego juga jika selalu menempatkan harapan pada seseorang yg jelas-jelas merasa terbebani. Move on bray, biasanya kalimat ini yg kudapat dari mulut-mulut sahabatku. Aku setuju. 

Cuma yang menjadi persoalan, banyak dari kita menyangka move on adalah istilah lain dari melupakan. Jelas penafsirannya tak seperti itu. Coba deh buka lagi kamusnya, move artinya bergerak, yang tak ada sangkut-pautnya dengan kata forget.



Move on bisa diawali dengan kegiatan positif, mencari aktivitas baru, menyibukkan diri di komunitas sosial, ataupun silaturrahmi dengan kawan lama. Intinya cari keasyikan di sela-sela rutinitas galau. Jika agenda baru ini ditempatkan sebagai proses memperbaiki diri dengan harapan kelak dapat menjadi pribadi yang pas untuk bersanding bersamanya, kurasa itu sah-sah saja selama tak memaksakan kehendak pada keputusannya. Karena dalam pemikiranku: 
"Jika menjadi orang lain untuknya saja tak bisa, apalagi jadi kekasihnya." 

Apa salahnya membiarkan orang yg disayang menikmati setiap kebahagiannya? Semakin yakin kitalah yang bisa membahagiakannya, semakin egoislah kita, terlebih di hadapannya. Semakin hebat usaha kita untuk mengusik alur hidupnya, semakin kuat bukti bahwa diri ini tak mampu membahagiakannya. 

Jadi kini aku membiarkannya? Memang. Satu hal yang pantas kulakukan saat ini selain berdoa. Seperti kata Sapardi; aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu. Juga kebahagiaanmu, timpalku. 

__________ 


Selamat pagi, kekasihku. Semoga kedekatan pagi dengan adzan shubuh senantiasa mengibaratkan dekatnya kebahagiaan dalam tiap aktivitasmu.