Sabtu, 20 Agustus 2011

Kolam Ikan Itu Bukan Milikku



Pada permulaan pagi ini, aku ingin memulainya dengan berandai sedikit tentang sosok wanita yang kerap membuatku terbangun di tengah malam hanya untuk melihat  pesan singkat yang sengaja ia kirim ke ponselku, walau sebatas kalimat “Maaf, dhe ketiduran lagi” ataupun sejenisnya.

Jujur, aku sungguh merindukan hal yang kini tak kudapati lagi.


Suatu hari kau menghabiskan waktu di sebuah pedesaan yang sangat indah, duduk manis sambil merasakan belaian angin lirih di tepian kolam berisi air yang jernih. Air di kolam itu begitu hangat menyambutmu hingga ia memperlihatkan kepadamu betapa indah dirinya dari dalam, termasuk tarian ikan berwarna-warni.

Mungkin ada satu kata ‘wajar’ saat diam-diam kau membesarkan pupil matamu dan mulai mengaguminya, ingin segera pulang dan mengambil alat pancing. Ataupun sekedar menyapa ikan-ikan itu dengan tanganmu yang bersih.

Tapi pada saat yang sama orang akan mulai menertawakanmu ketika dunia berkata lain, bahwa kolam itu bukanlah milikmu. Juga air jernih dan ikan-ikan yang lucu itu bukan pula milikmu.

Jika harus kuandaikan, ia serupa kolam itu. Ia berada di tempat yang indah, airnya begitu tenang dan menyejukkan bagi siapa saja yang mendekatinya, dan kalau pun ada riakan kecil maka kekagumanmu akan semakin bertambah. Sayangnya, sekali lagi kolam itu bukanlah milikmu.

Merayapi kehidupan yang seperti ini, kau akan tiba-tiba terbangun dengan rasa sesak yang ditumbuhi jamur serba kebingungan. Setiap hari mereka akan tumbuh dan kian membesar sembari menggerogoti otakmu sampai tak ada lagi yang terpikirkan selainnya.

Aku sendiri sudah begitu sadar sebagai seseorang yang harus pandai mengukur batasan seberapa tinggi aku harus bermimpi. Namun inilah yang kurasakan sekarang.