Kamis, 28 Oktober 2010

Selamat Datang, Pemuda


  
Bukan tidak alasan hadirmu di dunia ini dengan sambutan kalimat-kalimat sumpah para penerus negeri. Dengan teriakan lantang dan penuh harapan.
 
Bukan tentang kebencian, tapi tentang biru langit di suatu hari yang cerah menaungi kibaran merah-putih. Itulah harapannya.

Selamat datang, Pemuda..!



Sumpah Pemuda

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia



Dalam mengenang sumpah pemuda... 




Rabu, 27 Oktober 2010

Tengah Jalan

Perjalanan Menuju Tasik Malam

Pada senja, sebelum akhirnya menemani pekat kabut pagi menulis catatan ini. Langit sendu telah menguraikan rasanya yang tertampung di awan hitam. Dengan geram menghentikan perjalanan kemarin, perjalanan teragenda ke rumah seorang teman sekelas.
 
Kian membesar, akhirnya memutuskan untuk berhenti sementara di depan sebuah toko yang berderet di sepanjang Cihampelas Walk-Bandung. Lima motor kukenal terparkir sejajar setia menanti, tak ikut berteduh.
 
Dengan pakaian sedikit basah, kulihat tak jauh di samping yang menarik perhatian. Seorang bapak tua dengan topi lusuhnya berteman sejingjing kewajiban harian yang harus dipenuhinya tanpa jawaban yang pasti. Beserta dagangannya ia tengah duduk bersandar di dinding depan toko.
Terlukis jelas guratan di wajah yang membingkai sorotan lelah, tertutupi kepulan asap yang keluar halus dari mulutnya. Begitu berat beban di pundaknya. Kini ia tertunduk hingga ku tak bisa melihat mata yang penuh harapan itu.

Pluk...
 
Sesuatu yang digenggam terjatuh. Mulutnya tak menghembuskan asap lagi, tapi menganga seperti tanpa kendali.

Aku begitu menikmati ketenangannya di tengah-tengah sejuta keluhan manusia pada Tuhan, karena telah menghambat keegoisannya. Protes pada Sang Khaliq.

Lalu ia memungut kembali untuk dihisapnya beberapa kali lagi.

Baru kusadari bapak tua itu tengah melintasi alam lain sekian detik lalu, hanya selama batang beraroma nikotin itu jatuh pada lantai hampir basah. Terlihat tenang di jajahan dingin dan suara keras dari lagu yang diputar toko sebelah.
 
Suara rincik seakan membiusnya. Seperti menimpali musik yang diputar sejak tadi. Lantunannya meninabobokan si bapak.


 
Rasanya malu melihatnya. Tak henti-hentinya diri ini meminta di ladang kecukupan. Kulihat si bapak dengan nikmat meresapi kesederhanaan yang ada.




Ya Rabb.. Ampuni aku yang awam dalam menafsirkan mahacinta-Mu. Mohon anugerahi langkahku yang baru dimulai ini, yang masih di tengah jalan ini.

Tak ingin hamba memohon, kecuali pada-Mu.






Tasik 2010 

Selasa, 26 Oktober 2010

I Love My Family

Bandung, 25 Maret 2010

Siang sebelumnya aku-adik-ibu&bapakku berkumpul pada suatu wacana yang sama dalam hambatan jarak. Itu terjadi bukan karena berpaling satu dari lainnya, melainkan sebaliknya. Bukan karena kerukunan yang melapuk, justru kebersamaan yang ingin diciptakan.

Melalui ponsel hitam ini, kami berbicara melepas kerinduan di tempat yang berbeda. Aku di Bandung, Adikku di garut, dan Ibu-Bapakku di Subang.

  


Kurasakan nikmat yang luar biasa saat kulihgat keluarga ini begitu sejuk dari dulu hingga sekarang. Dari semenjak satu atap hingga berbeda nama kota. Subhanallah.

Mungkin dalam rindu yang sama untuk sebuah kebersamaan yang hanya terjadi tak lebih dari jemari sebelah tangan dalam setahunnya, membuat semua begitu berarti. Terlebih saat Ibu mengucap do’a sederhana agar kelak aku dan adikku bisa menjadi manusia yang sukses. Serta meminta dido’akan tetap dalam lindungan-Nya agar tetap bisa menyumbang hasil jerih payahnya untuk membiayai hidup aku dan adikku hingga saatnya nanti. Serempak kami pun mengucap amin, berharap Yang Maha Penyaksi meridhainya.

Akhirnya perbincangan pun terselesai karena seruan adzan Ashar. Insya Allah di lain waktu bisa dilanjutkan lagi seiring menabung rindu.

I love you all…

Jumat, 22 Oktober 2010

Angin Terakhir Sore Ini

Rasa gugup ini semakin besar dan semakin tak dapat kukendalikan. Peluh mulai bercucuran membanjiri kaos yang kukenakan seperti telah kupakai lari seharian. Percuma tadi kupakai parfum segala jika akhirnya akan seperti ini.

     Memang kuakui, ini pertama kalinya yang akan kulakukan. Sesuatu yang mungkin akan menjadi sejarah baru hidupku. Seperti inikah rasanya.

     Kata-kata yang sejak tadi malam kupersiapkan telah kukeluarkan dengan sedikit asa. Mulai dari awal hingga akhir tertuang jelas. Aku harap semuanya berjalan mulus. Aku yakin tak ada jawaban lainnya yang mampu menandingi jerih payahku selama ini selain jawaban yang kuharapkan.
 
     Tapi ternyata kenyataannya tak seperti itu. Semuanya tak searah dengan pemikiranku sebelumnya. Dengan pemikiran orang-orang yang duduk tak jauh dariku.

     Suaranya bergetar di telingaku, meresonansi ke bilik-bilik lain yang kosong, terpontang-panting mengikuti nada aliran darah hingga aku lelah dengan sendirinya. Membahana ke relung-relung jiwaku saat dia bilang tak bisa.

     Kulihat Gera dan Yanti yang sesungguhnya merekalah yang merencanakan ini semua, kini terlihat hanya diam penuh sesal. Tak ada yang salah pada mereka. Hanya ingin membalas budi jawabnya. Hubungan mereka memang ada sedikit atas bantuanku. Tak salah jika mereka ingin melakukannya untukku. Mungkin tak seperti ini yang diharapkannya. Padahal sebelumnya begitu optimis memotivasiku sampai beberapa detik yang lalu.

     Andaikan tadi kuambil kamera digital dan kurekam wajah mereka, ingin kuberikan hasil itu untuknya agar tetap berekspresi seperti tadi. Betapa kontrasnya keadaan mereka sekarang.

     Sedang tak begitu ada perbedaan dariku, dari tadi sampai sekarang tetap berperang dengan prajurit-prajurit dan strategi terbaik yang kumiliki mencoba menguasai kegugupanku.

     Angin senja menghembus tepat ke hidungku membawa partikel-partikel parfum dari pakainnya, kaos merah muda. Awalnya jelas kurasakan hasil kerja udara bergerak itu, namun begitu kuatnya rasa ini hingga wangi yang sebelumnya terasa pun kini mulai kuabaikan. Aku masih menerka-nerka perkataanya. Tak percaya.

     “Andai kamu datang lebih dulu, pasti kamulah orangnya”

     Aku hanya menganggukan kepala yang sebenarnya terasa berat, tapi kupaksakan. Sebenarnya aku tak tahu apa maksud dia berkata seperti itu. Mungkin hanya mencoba menghiburku, menutupi rasa tak enaknya.

      Dia memegang erat tanganku.

     Aku melihat dan merasakan kelembutan tangannya. Kuangkat kepala, tak sanggup kulihat lagi genggaman tangan ini. Kini mataku dengan matanya beradu keras menghantam. Kulihat senyum manis dalam dirinya untukku. Entah apa artinya.

     Tak lama, dia melepaskan genggamannya dan menarik tangan Yanti yang dari tadi duduk bersama Gera tak jauh dariku untuk meninggalkanku pergi. Meninggalkan gubuk yang sejak tadi kami tempati. Berharap dia pergi juga dari hatiku jauh-jauh dan jangan pernah kembali lagi.

    Hangat sinar mentari yang pucat terasa begitu segar mendarat di atas kulitku, turut menyemangati jiwa yang lelah.

    “Aku tak tahu dia sudah…” Ucapnya tak lengkap sambil menepuk-nepuk pundakku. Suaranya tersedak suasana.

     Aku hanya bisa memberikan senyuman termanisku di depan matanya.






 

Minggu, 10 Oktober 2010

Entahlah (10-10-10)

Malam ini begitu dingin, dan udaranya mengantarkanku pada dingin tadi pagi..

Kudengar entah itu dari mulut orang-orang ataupun dari televisi, katanya, hari ini istimewa. Mungkin tak jarang yeng menggunakan momen ini untuk pernikahan, pertunangan, hari jadian, bahkan adapula yang ingin melahirkan paksa. Hanya karena sederetan angka.

 
10-10-10.
Begitu banyak yang telah mempersiapkan untuk hari ini. Khususnya mereka yang hidupnya penuh dengan perencanaan.

 

Memang unik, kusadari itu. Hingga aku pun tertarik dengan sendirinya.

Aku mulai tertarik dengan apa yang akan kulakukan. Tentu bukan karena mitos yang mengada, tapi karena terasa diingati oleh mereka yang menyelenggarakannya sebagai symbol istimewa.

Akhirnya kuputuskan untuk menangkap ikan di kolam pribadi yang biasa kami sebut balong. Beliau mengajakku tadi malam, saat mengeluh di depanku atas serba kecukupan ini: malam sebelumnya kami sekeluarga hanya makan berlauk kerupuk, tapi tetap saja kurasakan nikmat yang luar biasa.

Dengan hanya berbekal huut (ampas padi) sebagai peletnya, kami mulai berangkat dari rumah. Sesekali di jalan berhenti, yang kutahu Bapak sedang mencarikan jala.. Ya, meminjamnya dari tetangga.

Tiba di balong, beliau begitu cekatan. Langsung mencampur huut dengan air sungai, lalu melemparkannya ke tengah kolam. Tak lama ia pun menggenggam jala dengan jurus miliknya, lalu meluncurkannya hingga meluas di atas permukaan air. Rantai-rantai pemberatnya dengan kuat mencengkram alas berlumpur.

Aku.. Hanya melihatnya di samping. Menyaksikan kegagahan seorang ayah terhebat.

Saat itu, aku berpikir, seperti tiada gunanya aku kesini. Bagai orang kota yang baru masuk desa, hanya melihat. Bukankah aku termasuk di dalamnya? Namun entah kenapa begitu asing dengan suasana seperti ini. Bahkan aku sudah lupa dengan letak balongku ini dimana.

Aku mulai bingung, dan dipenuhi rasa salah. Seperti inikah anak kebanggaannya..

Sepertinya aku menyalah-artikan saat kau bilang, ‘Janganlah seprti kami, ibu-bapakmu. Kami sudah terlanjur menderita dengan pedih dan perih seorang petani. Cukuplah kami.’

Aku memulai dewasa dengan kekeliruan dan ego berbalut ambisi. Aku tidak mau seperti mereka, itu kalimat yang selalu kuucapkan dulu. Itu pula yang memotivasiku untuk terus meneruskan jenjang pendidikan hingga sampai di perguruan tinggi. Serta itu juga yang menyebabkanku dipagari dengan mereka yang bernafas disekitarku, membuatku beda dan dibedakan. Sungguh tak ada sedikitpun rasa bangga atasnya.

Sebenarnya aku mulai berpikir waktu diminta naik kelapa, lalu kukatakan ketidakmampuanku. Saat itu ada seorang sahabat berkata, ‘kamu itu kayak yang lahir dimana aja. Orang kampong juga.’ Nadanya lekat dengan canda, dan akupun menanggapinya sama dengan kalimat tersebut dimaksudkan. Tapi jauh dari itu, benar juga pikirku.

Betapa anehnya seorang anak kampung tadi tidak bisa melakukan hal-hal yang seringkali dilakukan anak-anak lain di kampung. Aku normal, tidak cacat sedikitpun. Tapi pola kehidupan ini membuatku cacat.

Mungkin waktunya harus kusadari hidup ini memang seharusnya berawal dari mimpi, tapi tak perlu menghipnotis diri secara total.

Jadi teringat dengan yang orang tua bilang, ‘Hirup mah kudu ngukur ka bungur.’

Ah… Entahlah. Semuanya sudah kulalui. Ini mungkin memang jalanku.

Semoga selalu ada ridha-Nya.