Jumat, 20 Mei 2011

Orang Mulai Menyebutku

Sesuatu apa yang hendak kutulis saat diri ini mendapati serangkaian hidung mancung di sekelilingku tak ingin menangkap uraian angin yang memeluk aroma nafasku. Tentu bukan karena virus influelza atau bau tak biasa.

Saat rasa itu bergemuruh datang kemudian jari-jemarinya yang nakal mulai menyingkap selimut tebal dalam tidur yang cukup lelap. Hingga pada pukul tiga kurang seperempat, aku terpaksa harus terbangun dan sempat merasa sesak dengan suara isak yang tak kunjung pecah. Tapi, ternyata masih juga belum ada apresiasi untuk kantung mata berisi luka dan air mata yang tertahan itu.

Ada begitu banyak hal yang dikhawatirkan atas beberapa molekul oksigen yang akan kuambil dari dunia ini sebelum menjadikannya pribadi yang beda untuk kembali menyapa atmosfer lagi. Entah mereka sudah tak mempercayai takdir Amazon bersama Kalimantan. Entah aku memang tak layak mendapatkan bagian.

"Haruskah aku tetap tersenyum, setidaknya sebagai jam istirahat sebelum kembali menangis?"
"Haruskah  aku menangis agar mereka tersenyum dan tertawa histeris?"

Sejujurnya... Tak ada yang ingin kutulis ataupun kutanyakan.

Dalam niat sesaat sebelum aku mulai menulis, selalu kuhindari kata-kata manis walaupun hasil akhir selalu saja terkesan sedikit puitis. Mungkin inilah bawaanku yang orang biasa menyebutnya "ROMANTIS", pikirku.





Bandung, 20 Mei 2011 | 00:14
----------------------------------------------
Tak perlu mempertanyakan apakah ini puisi atau cerpen
Saya sendiri bingung. Hehee...
Tapi yang pasti ini adalah sebuah catatan kecil


Sabtu, 14 Mei 2011

Saat Lampu Merah Harus Memanggil

Kaca mata hitam ini telah sengaja diciptakan agar dunia memperlihatkan lesung pelangi tak serasi lagi untuk negeri ini
Dan.. Kasih matahari semakin berlari menjauhi


Kemarin kudengar suara samar dengan nada-nada rendah yang telah mengikat ambisi dan emosi untuk sekian waktu dari tangan-tangan itu. Sementara getaran enam senar gitar menemani nyanyian pilu tentang rumah yang terkapar. Serupa bunyi kecil diatas tanah membisikkan gemertak langkah binatang-binatang lapar yang terpaksa berpetualang membuka halaman baru pada suatu cerita.

Kita simpan sejenak cerita klasik tentang ekspresi wajah di tiap lampu merah saat ia tak mendapati koin diatas topinya
Disini masih ada yang mau bertanya kemana perginya kata-kata indah yang tak pernah kita lepas dari rapalan doa saat hendak meminta aneka buah dan batang ataupun ranting
Apakah nurani telah ikut terbakar bersama kayu yang mengering?
Ataukah terbuang bersama tulang beruang yang tak tertuang di meja sebelum makan malam?