Kamis, 04 November 2010

Happy Ending

Sinar yang telah menerik mulai menguapkan embun-embun pagi di setiap sela-sela rerumput dan hamparan hijau lainnya. Adapun yang terkatrina oleh hembusan angin dari kendaraan yang mengejar waktu, mengejar setoran. Tampak bis antar kota berwarna putih melaju dengan cepat, mematahkan reranting yang berserakan diatas permukaan aspal. Sesekali terdengar suara decitan rem ketika bis melintasi kelokan-kelokan tajam di daerah yang memang berada di kaki gunung.

Semua begitu menikmati perjalanan indah itu. Perjalanan yang tak pernah terpikir akan seperti apa akhirnya. Kini bis putih bergaya elegan terdiam kaku di tengah jalan sepi, membuat segelintir orang-orang didalamnya kecewa karena beberapa agendanya akan sedikit terulur. Adapun yang hanya terdiam tak begitu mempermasalahkannya.

Dari dalam, Raga melihat sekali lagi sesuatu yang diterimanya malam tadi lewat e-mail, ia diminta untuk memilih disain untuknya. Ia menatap  print-out tersebu sekali lagit, ia takut matanya yang salah melihat. Namun untuk kesekian kalinya tetap seperti itu, tidak ada yang berubah. Ia akan lebih berterimakasih jika itu bukan mimpi.Setengah jam telah berlalu. Gemuruh suara-suara itu semakin membesar.

Raga mengeluarkan ponsel walkman-nya, lalu menekan tombol volume bertanda positif yang tersemat di samping kanannya. Sedikit demi sedikit gelak suara kasar pun mulai terabaikan, tertimpali musik favoritnya yang sudah diputar dua menit yang lalu. Melewati earphone, nyanyian romantis jelas begitu terdengar. Suasana ini mengingatkannya pada kenangan lama bersama seseorang seusai study-tour beberapa tahun silam.




Suara lantang Pak Darma dengan gerakan tangannya yang tegas mengisyaratkan untuk segera masuk ke dalam bis kepada beberapa siswa dan siswi yang lebih memilih menunggu di luar sambil menikmati suguhan panorama sejuk nan indah. Ada yang memanfaatkan momen ini dengan foto-foto, menelpon keluarga, membuka persediaan makanan ringan, sampai ada yang melewatkannya berdua saja dengan sang terkasih. Tapi ada juga yang memilih berdiam di dalam bis sambil menatap keindahan alam lewat kaca jendela, dan juga ada beberapa yang sedang tiduran.


Gertakan sepatu setengah berlari membangunkan beberapa yang tertidur. Suara mesin terdengar halus, bersiap-siap menjalankan ban hitamnya.


Sesosok gadis cantik bediri di samping kursi.


Raga menyadarinya, ia tidak sedang menduduki kursinya. Ia segera menutup buku catatan yang berisi puisi-puisi miliknya dan menyelipkan pena kecil di dalamnya. Kemudian ia mematikan musik yang dari tadi diputar. “Maaf.” Ia berangsur berdiri di samping gadis itu sembari mengucapkannya halus tepat ke telinga gadis itu.


 “Iya.” Ucap Mia dengan acuh. Ia langsung menuju tempat duduknya yang bernomor 13 itu. Angka sial, pikirnya.


Raga kemudian duduk lagi di kursinya, disamping Mia. Keduanya tak pernah berbicara sedikitpun.


Bis melaju lagi dengan perlahan, mengusir aliran udara di depannya. Dan raga mulai melanjutkan menulis puisinya yang belum selesai.


 “Kenapa kamu suka menulis tentang ibu?”


Kalimat itu memecah kesunyian diantara mereka.


Ia menatap dengan heran saat mendapati Mia sedang tersenyum ke arah bukunya.


 “Merindukannya ya?”


Raga menganggukan kepalanya.


 “Aku juga rindu padanya.” Ia memejamkan matanya, dalam. Ia begitu meresapi kerinduannya.


 “Saat sampai di rumahmu, tataplah matanya,” Raga menutup bukunnya. “seketika itu kerinduanmu akan menguap."


Ada sebuah cairan aneh mengalir lambat diatas pipi halus milik Mia, cairan bening yang tak pernah sebelumnya dilihat Raga dari sosoknya. “Bahkan, seperti apa wajahnya aku ngga pernah tahu.”


Suara lembut itu bagai tusukan menyakitkan buat Raga. Selama ini ia telah menyakitinya.


Sekarang ia tahu alasan Mia -yang padahal saat itu tidak mengetahui siapa pemiliknya-, menyobek puisi buatan Raga yang dipajang di papan kreasi kelas. Kejadian itu mebuat Raga membencinya.


Sedangkan Mia tak menyukai kabar itu. Kabar tentang ada seseorang yang membencinya di kelas barunya.


 “Maaf aku ngga…” Raga tak mampu melanjutkannya. Sesuatu jauh mengiris hatinya. Lalu ia memberikan lipatan sapu tangan.


Mia mengusap air matanya dengan sapu tangan milik Raga. Ia mencium wangi parfume yang tersemat didalamnya. Ia tak pernah menyadari aroma yang diciumnya itu selalu ada disampingnya selama perjalanan. “Terimakasih.” Ia memberikan lagi sapu tangan itu.


Raga tersenyum. “Sama-sama.”


Mia membalasnya dengan senyuman yang sama.


Tanpa terasa, kendaraan mereka telah sampai di sebuah rumah makan sederhana khas Sunda, agenda tour terakhir. Para wali kelas dan beberapa guru mengarahkan untuk tak terburu-buru.


Udara di luar begitu dingin bercampur dengan angin-angin dan debu-debu jalan dari lajuan kendaraan. Beberapa siswa berjalan berhamburan meninggalkan bis-bis yang berjajar teratur di tempat parkir terbuka yang lebih mirip seperti lapangan. Raga dan Mia masih belum turun dari bis.


 “Kamu ingin tahu ngga seperti apa sosok ibumu?” tawar Raga.


Mia mengernyitkan dahinya, ia belum mengerti. “Iya.” jawabnya penasaran.


Raga bergegas mengeluarkan  ponsel wakman dari sakunya. Lalu membuka menu dan folder-folder selanjutnya. “Coba lihat!”


Mia masih terdiam. Belum jelas apa yang dilihatnya.


 “Hanya seorang ibu cantik yang dapat melahirkan anak secantik ini.”


Kini Mia bingung, antara senang dan ingin marah terhadap si usil disampingnya. Tapi apa yang didengarnya membuat ia memilih untuk tersenyum saat melihat sebuah foto di layar ponsel. Fotonya sendiri yang sedang tertidur di kelas.



Seperti orang gila, Raga tersenyum sendiri ditengah kerutan dahi orang-orang disekitarnya. Ia baru terbangun dari masa lalunya. Sambil tetap tersenyum, ia mengeluarkan kembali contoh disain surat undangan tadi. Terukir diatasnya dua nama indah, Raga dan Mia.


Pak supir naik ke depan kemudi dan mulai mencoba menyalakan mesin. Sedangkan dengan pakainan dan tangan sedikit terlumuri oli, para antek-anteknya berdiri di samping bis, menunggu. Dan ternyata bis telah diperbaiki dengan baik, semua berjalan lancar. Mereka langsung bergegas masuk saat suara mesin terdengar. Perjalanan yang sempat tertunda itu kembali dilanjutkan.


Angin segar mulai menyapanya lewat celah-celah kecil di dinding bis tersebut.





- TAMAT -



Bandung 2010