Malam ini begitu dingin, dan udaranya mengantarkanku pada dingin tadi pagi..
Kudengar entah itu dari mulut orang-orang ataupun dari televisi, katanya, hari ini istimewa. Mungkin tak jarang yeng menggunakan momen ini untuk pernikahan, pertunangan, hari jadian, bahkan adapula yang ingin melahirkan paksa. Hanya karena sederetan angka.
10-10-10.
Begitu banyak yang telah mempersiapkan untuk hari ini. Khususnya mereka yang hidupnya penuh dengan perencanaan.
Memang unik, kusadari itu. Hingga aku pun tertarik dengan sendirinya.
Aku mulai tertarik dengan apa yang akan kulakukan. Tentu bukan karena mitos yang mengada, tapi karena terasa diingati oleh mereka yang menyelenggarakannya sebagai symbol istimewa.
Akhirnya kuputuskan untuk menangkap ikan di kolam pribadi yang biasa kami sebut balong. Beliau mengajakku tadi malam, saat mengeluh di depanku atas serba kecukupan ini: malam sebelumnya kami sekeluarga hanya makan berlauk kerupuk, tapi tetap saja kurasakan nikmat yang luar biasa.
Dengan hanya berbekal huut (ampas padi) sebagai peletnya, kami mulai berangkat dari rumah. Sesekali di jalan berhenti, yang kutahu Bapak sedang mencarikan jala.. Ya, meminjamnya dari tetangga.
Tiba di balong, beliau begitu cekatan. Langsung mencampur huut dengan air sungai, lalu melemparkannya ke tengah kolam. Tak lama ia pun menggenggam jala dengan jurus miliknya, lalu meluncurkannya hingga meluas di atas permukaan air. Rantai-rantai pemberatnya dengan kuat mencengkram alas berlumpur.
Aku.. Hanya melihatnya di samping. Menyaksikan kegagahan seorang ayah terhebat.
Saat itu, aku berpikir, seperti tiada gunanya aku kesini. Bagai orang kota yang baru masuk desa, hanya melihat. Bukankah aku termasuk di dalamnya? Namun entah kenapa begitu asing dengan suasana seperti ini. Bahkan aku sudah lupa dengan letak balongku ini dimana.
Aku mulai bingung, dan dipenuhi rasa salah. Seperti inikah anak kebanggaannya..
Sepertinya aku menyalah-artikan saat kau bilang, ‘Janganlah seprti kami, ibu-bapakmu. Kami sudah terlanjur menderita dengan pedih dan perih seorang petani. Cukuplah kami.’
Aku memulai dewasa dengan kekeliruan dan ego berbalut ambisi. Aku tidak mau seperti mereka, itu kalimat yang selalu kuucapkan dulu. Itu pula yang memotivasiku untuk terus meneruskan jenjang pendidikan hingga sampai di perguruan tinggi. Serta itu juga yang menyebabkanku dipagari dengan mereka yang bernafas disekitarku, membuatku beda dan dibedakan. Sungguh tak ada sedikitpun rasa bangga atasnya.
Sebenarnya aku mulai berpikir waktu diminta naik kelapa, lalu kukatakan ketidakmampuanku. Saat itu ada seorang sahabat berkata, ‘kamu itu kayak yang lahir dimana aja. Orang kampong juga.’ Nadanya lekat dengan canda, dan akupun menanggapinya sama dengan kalimat tersebut dimaksudkan. Tapi jauh dari itu, benar juga pikirku.
Betapa anehnya seorang anak kampung tadi tidak bisa melakukan hal-hal yang seringkali dilakukan anak-anak lain di kampung. Aku normal, tidak cacat sedikitpun. Tapi pola kehidupan ini membuatku cacat.
Mungkin waktunya harus kusadari hidup ini memang seharusnya berawal dari mimpi, tapi tak perlu menghipnotis diri secara total.
Jadi teringat dengan yang orang tua bilang, ‘Hirup mah kudu ngukur ka bungur.’
Ah… Entahlah. Semuanya sudah kulalui. Ini mungkin memang jalanku.
Semoga selalu ada ridha-Nya.