Rasa gugup ini semakin besar dan semakin tak dapat kukendalikan. Peluh mulai bercucuran membanjiri kaos yang kukenakan seperti telah kupakai lari seharian. Percuma tadi kupakai parfum segala jika akhirnya akan seperti ini.
Memang kuakui, ini pertama kalinya yang akan kulakukan. Sesuatu yang mungkin akan menjadi sejarah baru hidupku. Seperti inikah rasanya.
Kata-kata yang sejak tadi malam kupersiapkan telah kukeluarkan dengan sedikit asa. Mulai dari awal hingga akhir tertuang jelas. Aku harap semuanya berjalan mulus. Aku yakin tak ada jawaban lainnya yang mampu menandingi jerih payahku selama ini selain jawaban yang kuharapkan.
Tapi ternyata kenyataannya tak seperti itu. Semuanya tak searah dengan pemikiranku sebelumnya. Dengan pemikiran orang-orang yang duduk tak jauh dariku.
Suaranya bergetar di telingaku, meresonansi ke bilik-bilik lain yang kosong, terpontang-panting mengikuti nada aliran darah hingga aku lelah dengan sendirinya. Membahana ke relung-relung jiwaku saat dia bilang tak bisa.
Kulihat Gera dan Yanti yang sesungguhnya merekalah yang merencanakan ini semua, kini terlihat hanya diam penuh sesal. Tak ada yang salah pada mereka. Hanya ingin membalas budi jawabnya. Hubungan mereka memang ada sedikit atas bantuanku. Tak salah jika mereka ingin melakukannya untukku. Mungkin tak seperti ini yang diharapkannya. Padahal sebelumnya begitu optimis memotivasiku sampai beberapa detik yang lalu.
Andaikan tadi kuambil kamera digital dan kurekam wajah mereka, ingin kuberikan hasil itu untuknya agar tetap berekspresi seperti tadi. Betapa kontrasnya keadaan mereka sekarang.
Sedang tak begitu ada perbedaan dariku, dari tadi sampai sekarang tetap berperang dengan prajurit-prajurit dan strategi terbaik yang kumiliki mencoba menguasai kegugupanku.
Angin senja menghembus tepat ke hidungku membawa partikel-partikel parfum dari pakainnya, kaos merah muda. Awalnya jelas kurasakan hasil kerja udara bergerak itu, namun begitu kuatnya rasa ini hingga wangi yang sebelumnya terasa pun kini mulai kuabaikan. Aku masih menerka-nerka perkataanya. Tak percaya.
“Andai kamu datang lebih dulu, pasti kamulah orangnya”
Aku hanya menganggukan kepala yang sebenarnya terasa berat, tapi kupaksakan. Sebenarnya aku tak tahu apa maksud dia berkata seperti itu. Mungkin hanya mencoba menghiburku, menutupi rasa tak enaknya.
Dia memegang erat tanganku.
Aku melihat dan merasakan kelembutan tangannya. Kuangkat kepala, tak sanggup kulihat lagi genggaman tangan ini. Kini mataku dengan matanya beradu keras menghantam. Kulihat senyum manis dalam dirinya untukku. Entah apa artinya.
Tak lama, dia melepaskan genggamannya dan menarik tangan Yanti yang dari tadi duduk bersama Gera tak jauh dariku untuk meninggalkanku pergi. Meninggalkan gubuk yang sejak tadi kami tempati. Berharap dia pergi juga dari hatiku jauh-jauh dan jangan pernah kembali lagi.
Hangat sinar mentari yang pucat terasa begitu segar mendarat di atas kulitku, turut menyemangati jiwa yang lelah.
“Aku tak tahu dia sudah…” Ucapnya tak lengkap sambil menepuk-nepuk pundakku. Suaranya tersedak suasana.
Aku hanya bisa memberikan senyuman termanisku di depan matanya.