20 April 2010: Berjejer menunggu warna hijau
Seperti yang dibicarakan baru-baru ini langit Bandung tampak cerah dari biasanya. Penduduk pun dibuatnya gerah gelisah.
Di suatu lampu merah Cipaganti sepulang dari BEC mengantar teman. Puluhan kendaraan berderet tak bergerak menanti isyarat. Padahal sudah pukul tiga sore, tapi panas masih betah selimuti kota kembang.
Walau bernaungkan helm hingga terpeluk baja kuat, tetap tak menyurutkan tuk berprotes pada alam. Panas, panas dan panas. Kata sama dari kalimat-kalimat yang terucap puluhan orang disini.
Hal yang kontras tumbuh di depan sana di samping jalan. Dari atas motor temanku, kulihat pria yang mungkin sebaya dengan bapakku tengah memainkan drama. Ditemani alat musik seadanya, menyutradai monyetnya lewat seutas tali. Ada yang terhibur juga sebaliknya.
Seseorang di balik mobil silvernya yang tepat berada di samping hiburan tersebut membuka kaca jendela. Hanya tangannya yang keluar menggenggam secercah rupiah lalu membuangnya. Pria itu langsung memungutnya. Dengan anggukan berhias senyum ramah, ia seperti penuh berterima kasih.
Tak lama, lampu hijau menyala menghentikan arus jalan di seberang sana. Ditinggalnya pria itu dalam syukur oleh puluhan kendaraan yang sejenak diam dengan acuh.
Padahal hanya beralaskan tikar lusuh berpayung topi sederhana, tapi pria itu masih tersenyum segar dalam raga lelah di bawah sengatan raja siang. Aku terhanyut dalam suasana, sepertinya Dia sedang memperlihatkan hakikat ikhlas dan syukur. Aku jadi malu.
Teruntuk si pria kuat, tetap jalani harimu penuh semangat dan santun. Tiada alasan untuk menepisnya.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Karena sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan.
Bandung 2010