Semua begitu
menikmati perjalanan indah itu. Perjalanan yang tak pernah terpikir akan
seperti apa akhirnya. Kini bis putih bergaya elegan terdiam kaku di tengah
jalan sepi, membuat segelintir orang-orang didalamnya kecewa karena beberapa
agendanya akan sedikit terulur. Adapun yang hanya terdiam tak begitu
mempermasalahkannya.
Dari dalam,
Raga melihat sekali lagi sesuatu yang diterimanya malam tadi lewat e-mail, ia
diminta untuk memilih disain untuknya. Ia menatap print-out tersebu sekali lagit, ia takut
matanya yang salah melihat. Namun untuk kesekian kalinya tetap seperti itu,
tidak ada yang berubah. Ia akan lebih berterimakasih jika itu bukan mimpi.Setengah jam
telah berlalu. Gemuruh suara-suara itu semakin membesar.
Raga mengeluarkan
ponsel walkman-nya, lalu menekan tombol volume bertanda positif yang tersemat
di samping kanannya. Sedikit demi sedikit gelak suara kasar pun mulai
terabaikan, tertimpali musik favoritnya yang sudah diputar dua menit yang lalu.
Melewati earphone, nyanyian romantis jelas begitu terdengar. Suasana ini
mengingatkannya pada kenangan lama bersama seseorang seusai study-tour beberapa
tahun silam.
Suara lantang Pak Darma dengan
gerakan tangannya yang tegas mengisyaratkan untuk segera masuk ke dalam bis kepada
beberapa siswa dan siswi yang lebih memilih menunggu di luar sambil menikmati
suguhan panorama sejuk nan indah. Ada yang memanfaatkan momen ini dengan
foto-foto, menelpon keluarga, membuka persediaan makanan ringan, sampai ada
yang melewatkannya berdua saja dengan sang terkasih. Tapi ada juga yang memilih
berdiam di dalam bis sambil menatap keindahan alam lewat kaca jendela, dan juga
ada beberapa yang sedang tiduran.
Gertakan
sepatu setengah berlari membangunkan beberapa yang tertidur. Suara mesin
terdengar halus, bersiap-siap menjalankan ban hitamnya.
Sesosok gadis
cantik bediri di samping kursi.
Raga
menyadarinya, ia tidak sedang menduduki kursinya. Ia segera menutup buku
catatan yang berisi puisi-puisi miliknya dan menyelipkan pena kecil di
dalamnya. Kemudian ia mematikan musik yang dari tadi diputar. “Maaf.” Ia
berangsur berdiri di samping gadis itu sembari mengucapkannya halus tepat ke
telinga gadis itu.
“Iya.” Ucap Mia dengan acuh. Ia langsung
menuju tempat duduknya yang bernomor 13 itu. Angka sial, pikirnya.
Raga kemudian
duduk lagi di kursinya, disamping Mia. Keduanya tak pernah berbicara
sedikitpun.
Bis melaju
lagi dengan perlahan, mengusir aliran udara di depannya. Dan raga mulai
melanjutkan menulis puisinya yang belum selesai.
“Kenapa kamu suka menulis tentang ibu?”
Kalimat itu
memecah kesunyian diantara mereka.
Ia menatap
dengan heran saat mendapati Mia sedang tersenyum ke arah bukunya.
“Merindukannya ya?”
Raga
menganggukan kepalanya.
“Aku juga rindu padanya.” Ia memejamkan
matanya, dalam. Ia begitu meresapi kerinduannya.
“Saat sampai di rumahmu, tataplah matanya,”
Raga menutup bukunnya. “seketika itu kerinduanmu akan menguap."
Ada sebuah
cairan aneh mengalir lambat diatas pipi halus milik Mia, cairan bening yang tak
pernah sebelumnya dilihat Raga dari sosoknya. “Bahkan, seperti apa wajahnya aku
ngga pernah tahu.”
Suara lembut
itu bagai tusukan menyakitkan buat Raga. Selama ini ia telah menyakitinya.
Sekarang ia
tahu alasan Mia -yang padahal saat itu tidak mengetahui siapa pemiliknya-,
menyobek puisi buatan Raga yang dipajang di papan kreasi kelas. Kejadian itu
mebuat Raga membencinya.
Sedangkan Mia
tak menyukai kabar itu. Kabar tentang ada seseorang yang membencinya di kelas
barunya.
“Maaf aku ngga…” Raga tak mampu melanjutkannya.
Sesuatu jauh mengiris hatinya. Lalu ia memberikan lipatan sapu tangan.
Mia mengusap
air matanya dengan sapu tangan milik Raga. Ia mencium wangi parfume yang
tersemat didalamnya. Ia tak pernah menyadari aroma yang diciumnya itu selalu
ada disampingnya selama perjalanan. “Terimakasih.” Ia memberikan lagi sapu
tangan itu.
Raga
tersenyum. “Sama-sama.”
Mia
membalasnya dengan senyuman yang sama.
Tanpa terasa,
kendaraan mereka telah sampai di sebuah rumah makan sederhana khas Sunda,
agenda tour terakhir. Para wali kelas dan beberapa guru mengarahkan untuk tak
terburu-buru.
Udara di luar
begitu dingin bercampur dengan angin-angin dan debu-debu jalan dari lajuan
kendaraan. Beberapa siswa berjalan berhamburan meninggalkan bis-bis yang
berjajar teratur di tempat parkir terbuka yang lebih mirip seperti lapangan.
Raga dan Mia masih belum turun dari bis.
“Kamu ingin tahu ngga seperti apa sosok
ibumu?” tawar Raga.
Mia
mengernyitkan dahinya, ia belum mengerti. “Iya.” jawabnya penasaran.
Raga bergegas
mengeluarkan ponsel wakman dari sakunya. Lalu membuka menu dan
folder-folder selanjutnya. “Coba lihat!”
Mia masih
terdiam. Belum jelas apa yang dilihatnya.
“Hanya seorang ibu cantik yang dapat
melahirkan anak secantik ini.”
Kini Mia
bingung, antara senang dan ingin marah terhadap si usil disampingnya. Tapi apa
yang didengarnya membuat ia memilih untuk tersenyum saat melihat sebuah foto di
layar ponsel. Fotonya sendiri yang sedang tertidur di kelas.
Seperti orang gila, Raga
tersenyum sendiri ditengah kerutan dahi orang-orang disekitarnya. Ia baru
terbangun dari masa lalunya. Sambil tetap tersenyum, ia mengeluarkan kembali
contoh disain surat undangan tadi. Terukir diatasnya dua nama indah, Raga dan
Mia.
Pak supir naik
ke depan kemudi dan mulai mencoba menyalakan mesin. Sedangkan dengan pakainan
dan tangan sedikit terlumuri oli, para antek-anteknya berdiri di samping bis,
menunggu. Dan ternyata bis telah diperbaiki dengan baik, semua berjalan lancar.
Mereka langsung bergegas masuk saat suara mesin terdengar. Perjalanan yang
sempat tertunda itu kembali dilanjutkan.
Angin segar
mulai menyapanya lewat celah-celah kecil di dinding bis tersebut.
- TAMAT -