Pada permulaan pagi ini, aku ingin memulainya dengan berandai sedikit
tentang sosok wanita yang kerap membuatku terbangun di tengah malam
hanya untuk melihat pesan singkat yang sengaja ia kirim ke ponselku,
walau sebatas kalimat “Maaf, dhe ketiduran lagi” ataupun sejenisnya.
Jujur, aku sungguh merindukan hal yang kini tak kudapati lagi.
Suatu
hari kau menghabiskan waktu di sebuah pedesaan yang sangat indah, duduk
manis sambil merasakan belaian angin lirih di tepian kolam berisi air
yang jernih. Air di kolam itu begitu hangat menyambutmu hingga ia
memperlihatkan kepadamu betapa indah dirinya dari dalam, termasuk tarian
ikan berwarna-warni.
Mungkin ada satu kata ‘wajar’ saat
diam-diam kau membesarkan pupil matamu dan mulai mengaguminya, ingin
segera pulang dan mengambil alat pancing. Ataupun sekedar menyapa
ikan-ikan itu dengan tanganmu yang bersih.
Tapi pada saat
yang sama orang akan mulai menertawakanmu ketika dunia berkata lain,
bahwa kolam itu bukanlah milikmu. Juga air jernih dan ikan-ikan yang
lucu itu bukan pula milikmu.
Jika harus kuandaikan, ia
serupa kolam itu. Ia berada di tempat yang indah, airnya begitu tenang
dan menyejukkan bagi siapa saja yang mendekatinya, dan kalau pun ada
riakan kecil maka kekagumanmu akan semakin bertambah. Sayangnya, sekali
lagi kolam itu bukanlah milikmu.
Merayapi kehidupan yang
seperti ini, kau akan tiba-tiba terbangun dengan rasa sesak yang
ditumbuhi jamur serba kebingungan. Setiap hari mereka akan tumbuh dan
kian membesar sembari menggerogoti otakmu sampai tak ada lagi yang
terpikirkan selainnya.
Aku sendiri sudah begitu sadar
sebagai seseorang yang harus pandai mengukur batasan seberapa tinggi aku
harus bermimpi. Namun inilah yang kurasakan sekarang.