Jika kau memiliki sekeping CD berisi lagu favorite, maka ini kupastikan adalah sehela nafas pada nada yang sedikit tak cocok dengan cord manapun.
Baru saja aku menuruni sebuah bis kota ditemani dengan ceramah di
sepanjang jalan yang cukup membosankan. Akhir-akhir ini aku begitu lekat
menaikinya secara terpaksa, begitu pula dengan si penceramah berbaju
putih tadi.
Di sepanjang jalan kompleks pertokoan,
kutangkap aura kota ini tampak suram dari biasanya, matahari seperti
tenggelam lebih awal saat jarum jam di tangan kiriku masih bersimpuh
santai di angka lima lewat beberapa menit. Atau―kali ini aku jadi
berpikir―mungkinkah benda itu telah bosan memberitahu seseorang yang
menganggapnya seolah asesoris yang tertakdir hanya berputar-putar di
tempat itu-itu saja dengan nilai tak lebih dari Rp 75.000? Terpaksa
harus kuakui tentang keterlambatanku hampir di setiap hal.
Ah,
aku sedikit teringat dengan peristiwa di hari sebelum kemarin saat
masih kuabaikan benda itu, di dimensi tempat dan titik rotasi waktu yang
hampir sama. Suasana ini di jalan ini, suara-suara mesin kendaraan,
lantunan lagu berjudul Sarjana Muda yang mengejekku dari radio milik
seorang pak tua diatas becaknya, teriakan promosi tukang obat lesehan,
dan aku yang sedang menjinjing tas gendong dan map berwarna merah ini di
sebuah jalan yang tak kutahu namanya.
Kupikir itulah
momen memilukan saat kupilih untuk menjual iPhone-ku, ponsel yang
kudapat setelah merengek-rengek pada ayahku sebagai permintaan di hari
ulang tahunku yang ke-19. Untuknya, aku harus berpura-pura kabur dari
rumah dan mengancam tak akan pulang. Tak sedikitpun ada rasa ingin tahu
bagaimana ayah mendapatkan uangnya sampai akhirnya beberapa orang
berseragam dinas keamanan datang ke rumah untuk mencarinya.
Baru
kusadari betapa sempurnanya hidupku sebelum mereka hilang ke dalam
ruang gelap dan hitam, juga dengan ponsel yang berada di tangan kananku.
Kutimang-timang, kuperhatikan sekali lagi setiap sisinya sampai mataku
terhenti pada ukiran silver berbentuk buah apel yang tertera di
belakangnya, logo apel yang baru dimakan sedikit.
Kenapa
begitu banyak yang percaya tentang Eva yang mau menukar surga dengannya?
Entah kenapa aku berpikir bahwa itu adalah apel sisa dari surga.
Lalu
bagaimana dengan bidadari di rumahku? Bukankah ia juga telah menukar
istana dengan kalimat rayuan yang kudapat dari majalah-majalah dan juga
hikayat orang jalanan? Semua orang tahu itu tak lebih mahal dari apel.
Sungguh amat besar penyesalanku atasnya. Ambisiku telah membuat perutnya semakin hari semakin tak terlihat sexy.
Tapi entah kenapa dari sana aku mulai menyukainya secara ikhlas, bukan
lagi karena wajah cantik atau postur tubuhnya yang indah. Bukan lagi
karena uang taruhan dan semacamnya.
Hari berikutnya,
sepertinya sama juga dengan yang lainnya. Tak kudapati perbedaan
melainkan kurekam seorang penjaga toko yang sedang dimarahi wanita
gendut, entah dia pemilik toko entah seorang pelanggan yang tidak puas.
Hampir tiap hari wanita itu ada disana. Dan, sedang marah-marah.
Tak
ada yang berubah disini, melainkan sebuah map yang semakin nyenyak
bersemayam di tanganku di sebuah jalan yang masih tak kutahu namanya.
Papan nama jalan yang sudah terkorosi akibat panas dan hujan membuat
mataku kehilangan kemampuan dalam membaca.
Tempat ini
memiliki keunikan sendiri. Ia telah memikatku, juga terhadap orang-orang
yang ada di sekitar sini. Jadi bagaimana mungkin tempat seperti ini tak
memiliki nama? Entah kenapa ada rasa tertantang saat kupilih untuk
terus memikirnya. Otakku terus mengulas kalimat yang sama sampai aku tak
sadar tanganku yang secara otomatis telah siap untuk mengetuk pintu
kayu depan rumah kecilku.
Aku terdiam. Beberapa kali
kuambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya lagi. Pikiranku mulai
terpusat pada seorang penyiksa paling kejam dari algojo jail manapun. Di sebalik pintu ini, kuyakin ia pasti tengah menunggu kedatanganku, menunggu jawaban yang berbeda dari sebelumnya.
Sementara
tanganku begitu terasa semakin jelas bergetaran. Untuk kesekian kalinya
kulepaskan nafas panjang. Mencoba memberanikan diri.
Terdengar
suara berat khas pintu tua yang mulai terbuka setelah aku mengetuknya
tiga kali. Aku tak tahu seperti apa ekspresiku saat itu. Yang kutahu
jantungku berdetak semakin cepat, keringat yang sempat mereda mulai
berkeliaran lagi di sekujur tubuh dan wajahku.
“Wa alaikumussalam,” suara yang begitu indah mencoba menjawab salamku. “sudah pulang ya?”
Yah, dialah bidadari yang kumaksud tadi, sekaligus penyiksaku.
Lagi-lagi
aku diam. Sementara semua otot gerakku serasa kaku. Andai saja dulu
kuliah kedokteranku selesai, mungkin sedikitnya kutahu apa penyebabnya.
“Dhe, aku…”
Dengan
pelan ia daratkan telunjuknya di bibirku. “Masuklah dulu dan lepas
bajumu, biar kubuatkan teh hangat untukmu.” katanya sambil tersenyum. Ia
menyentuh pundakku yang basah saat langkah kakiku melewatinya.
Aku
tak tahu apa kata yang tepat untuk mendeskripsikan senyumannya waktu
itu. Terlihat begitu tulus. Namun rasa sakit ini semakin menyeruak.
Lagi-lagi tanpa sadar ia telah menghukumku, menyiksaku.
Kami
duduk berhadapan tersekat meja makan, tapi mata kami tak saling
bertatapan. Untuk pertama kalinya kami sama-sama diam, mematung dan
melihat meja kayu bertaplak bunga mawar putih yang begitu bersih, selain
segelas teh hangat yang baru saja disuguhkan untukku.
Kulihat
istriku kemudian hanya menunduk seperti seorang siswi sekolah dasar
yang akan dihukum gurunya. Sebelum akhirnya ia mulai berkata-kata. “Kang, sebaiknya malam ini kita ngga usah…”
“Coba
tebak hari ini kubawa apa?” Mulai kucoba menguapkan segala kekakuan
sambil mengeluarkan beberapa bungkus makanan instan dan minuman kaleng
dari tas gendongku. Tuhan, maaafkanlah aku, terpaksa harus kupotong
kata-katanya.
“Wah banyak sekali,” teriaknya dengan mata
girang dan berbinar, ternyata hanya beberapa detik saja. Kemudian ia
meraih tanganku dan membalikannya. “kenapa akang melakukannya lagi?!”
Ia melihat semua bekas jarum yang sebelumnya kututupi dengan plaster untuk mengelabui petugas dalam acara tadi.
“Sekarang-sekarang ini PMI sedang mengadakan acara penggalangan donatur dimana-mana, ngga mungkin kan akang melewatkannya. Cepatlah makan, Dhe. Kamu ngga mau kan bayi kita sedih gara-gara ibunya kelaparan?”
Telah kumanipulasi semua dataku dalam formulirnya. Kutahu, manusia selalu saja ada yang lalai. Bukan ada, tapi banyak.
“Aku ngga
lapar!” bantahnya. Matanya memerah tersirami air mata. Ia berdiri.
Kemudian setengah berlari masuk menuju kamar. “aku yakin… Bayi kita akan
lebih bersedih lagi jika ia tahu apa yang barusan dilakukan ayahnya…!”
Kudengar
suara pelan bercampur isak dari dalam kamar. Rupanya itu adalah suara
terakhir yang kudengar tadi malam. Aku merasa kini dunia berputar tak
beraturan. Tanganku semakin gemetar. Tiap detak jantungku terdengar
begitu jelas. Napasku sesak. Ingin sekali kukabari istriku, tapi kuyakin
ia sedang menangis. Semuanya membias hitam dan tak terlihat lagi.
Maafkan aku yang akan membuatmu menangis lebih keras lagi, isitriku.
Semua
bayangan itu telah kabur terusir suara klakson bis yang melewati jalan
ini. Bis tersebut berhenti. “Yah, habis habis!” teriak kondektur.
Rupanya
disinilah tempat perhentian terakhir bis ini. Bodohnya aku. Lalu apa
nama jalan yang panjang ini? Ah, kenapa juga harus kupertanyakan. Karena
hanya akan ada dua kemungkinan untuk namanya. Kembali ingatanku pada
setiap uraian si penceramah itu.
Kulihat map yang ada di
tanganku. Kubuka sedikit. Aku tersenyum saat melihat sampul bertuliskan
riwayat hidup. Baguslah, masih terlihat seperti sebelumnya. Setelah
membaca semuanya, kuyakin Dia tetap Maha Mengerti.